Indonesia mempunyai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Undang-undang ini berlaku untuk semua perdagangan, baik perdagangan secara konvensional, atau offline, maupun perdagangan secara online. Dalam sebuah perdagangan ada beberapa hal yang arus diperhatikan, karena terdapat hukum yang mengatur mengenai perdagangan yaitu Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya perjanjian dan pasal 1330 KUH Perdata tentang seseorang yang cakap untuk melakukan perdagangan.
Syarat Sah Perjanjian Perdagangan
Ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu sebagai berikut.
- Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
- Cakap untuk membuat suatu perjanjian.
- Mengenai suatu hal tertentu.
- Suatu sebab yang halal.
Dua syarat yang pertama, merupakan syarat subjektif, karena mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada dasarnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akilbaliq dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Dalam pasal 1330 KUH Perdata disebutkan syarat orang-orang yang dianggap tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian, di antaranya sebagai berikut.
- Orang-orang yang belum dewasa.
- Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan.
- Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang, dan semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Apabila dilihat dari sudut rasa keadilan, orang yang membuat suatu perjanjian nantinya akan terikat oleh perjanjian itu. Orang tersebut harus mempunyai cukup kemampuan dan kesadaran serta benar-benar bertanggung jawab atas perjanjian atau kesepakatan yang telah dibuatnya. Sedangkan dari sudut ketertiban hukum, seseorang yang membuat suatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya, maka orang tersebut haruslah seseorang yang benar-benar berhak bebas menggunakan harta kekayaan yang dimilikinya.
Orang yang tidak sehat pikirannya tidak tidak memiliki kesadaran maupun rasa tanggung jawab terhadap perjanjian atau kesepakatan yang telah dibuat. Begitu pun dengan orang yang ditaruh di bawah pengampuan atau sedang terlibat masalah hukum pidana maupun perdata, tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Ia berada di bawah pengawasan pengampuan. Kedudukannya, dianggap sama dengan seorang anak yang belum dewasa. Kalau seorang anak belum dewasa harus diwakili oleh orang tua atau walinya, maka seorang dewasa yang telah ditaruh di bawah pengampuan harus di wakili oleh pengampu atau pengawasnya. Misalnya seorang terpidana korupsi dianggap tida cakap secara hukum karena di bawah pengampuan dan harus diwakili oleh pengacara atau kuasa hukumnya dalam melakukan kesepakatan tertentu.
Apabila salah satu syarat objektif tidak terpenuhi (hal tertentu atau kausa yang halal), maka perjanjiannya adalah batal demi hukum (bahasa inggris: null and vold). Dalam hal yang demikian, secara yuridis dari semula dianggap tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu. Artinya pihak yang satu tidak dapat menuntut pihak yang lain di depan hakim, karena dasar hukumnya tidak ada. Hakim ini diwajibkan karena jabatannya, menyatakan bahwa tidak pernah ada suatu perjanjian atau perikatan.
Apabila pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekurangan mengenai syarat yang subjektif, maka perjanjian itu bukannya batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalan (canceling) oleh salah satu pihak. Pihak ini adalah pihak yang tidak cakap menurut hukum (orang tua atau walinya, ataupun ia sendiri apabila ia sudah menjadi cakap), dan pihak yang memberikan perizinannya atau menyetujui perjanjian itu secara tidak bebas. Pembatalan perjanjian, baik pembatalan demi hukum maupun dibatalkan oleh salah satu pihak disebabkan karena perjanjian atau kesepakatan tersebut dianggap tidak mengandung sesuatu hal yang jelas apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak.
Lain halnya dengan perjanjian yang objeknya berupa benda atau sesutu hal yang tidak halal. Perjanjian tersebut jelas dianggap tidak ada karena melanggar hukum atau kesusilaan. Dari sudut keamanan dan ketertiban, jelaslah bahwa perjanjian-perjanjian seperti itu harus dicegah.
Aspek Perlindungan Konsumen di Perdagangan Indonesia
Seiring dengan terus berkembangnya teknologi hingga memasuki era industri 4.0 saat ini, Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) seakan sudah tidak bisa lagi mengakomodir kepentingan konsumen. Apabila diperhatikan dengan lebih seksama, hak-hak konsumen sebagaimana disebutkan dalam UUPK terkesan
hanya terbatas pada aktivitas perdagangan yang sifatnya konvensional. Selain itu, perlindungan pun hanya difokuskan pada sisi konsumen dan produk (barang dan jasa) yang diperdagangkan. Sedangkan perlindungan dari sisi produsen atau pelaku usaha, seperti informasi tentang identitas dan alamat atau tempat bisnis pelaku usaha (baik kantor cabang maupun kantor utamanya) serta jaminan kerahasiaan data-data milik konsumen diabaikan. Padahal hal-hal tersebut sangat penting diatur untuk keamanan konsumen dalam bertransaksi. Begitu pula apabila kita memperhatikan Ketentuan Umum Pasal 1 angka 6 UUPK, pengertian promosi tidak disebutkan secara jelas media apa yang dipakai dalam melakukan promosi ini apakah termasuk di dalamnya media internet atau tidak. Sehingga dibutuhkan regulasi yang lebih up-to-date untuk mengatur kegiatan e-commerce yang kian hari kian berkembang pesat dalam memberikan perlindungan hukum kepada konsumen, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah berubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Pajak dalam E-commerce (Perdagangan Online)
Perkembangan bisnis online di Indonesia berkembang saat pesat. Semakin banyaknya startup–startup baru bermunculan setiap bulannya, membuat perlu adanya kebijakan terkait perpajakan. Hal tersebut sangat penting agar tidak terjadi ketimpangan atau ketidakadilan antara penjualan secara konvensional dengan penjualan secara online (transaksi E-commerce). Namun untuk saat ini pajak yang berlaku adalah pemungutan pajak penjualan secara konvensional dan secara online sama. Hal ini sesuai dengan PP No. 46 tahun 2013.
Dasar hukum pengenaan PPh atas transaksi jual beli adalah Undang-Undang PPh Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 15, Pasal 17, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 26. Sedangkan dasar hukum pajang pertambahan nilai (PPN) adalah sebagai berikut.
- Pasal 1, Pasal 4 ayat (1) huruf c dan huruf e, Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 13 Undang-Undang PPN.
- Pasal 6, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 17 ayat (1), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012.
Kesimpulan
Indonesia mempunyai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). UUPK ini bisa digunakan dalam pelaksanaan E-commerce. Dengan diundangkannya UUPK tersebut, Diharapkan bahwa konsumen tidak lagi diperlukan sebagai objek dalam bisnis, tetapi sebagai subjek yang memiliki kedudukan yang seimbang dengan pelaku usaha.
Ketentuan Pasal 1320KUH Perdata disebutkan, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu, sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, cakap untuk membuat suatu perjanjian, mengenai suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal.
Pajak yang berlaku untuk jual beli secara konvensional maupun transaksi secara online sama. Hal ini sesuai dengan PP No. 46 tahun 2013.