Pluralisme di Indonesia
Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau dan berbagai provinsi sudah tentu akan melahirkan keanekaragaman dalam berbagai aspek. Dari mulai suku bangsa, adat istiadat, rumah, bahasa berkembang secara beragam di Indonesia. Hal ini menjadi potensi yang positif apabila didalamnya terjadi pengelolaan yang baik, Indonesia ditengah keberagamannya diuntungkan dengan adanya bahasa pemersatu yang bisa mempersatukan berbagai potensi yang berbeda. Keberagaman Indonesia bukan berarti tanpa risiko untuk tumbuhnya benih-benih konflik yang terjadi, sehingga dalam pengelolaan perbedaaan ini harus ekstra hati- hati demi terjaganya kedamaian dibumi Indonesia.
Perbedaan yang berlatarbelakang agama, sering menjadi sorotan serta dianggap hal yang sangat sensitive untuk disinggung karena ini berkaitan dengan masalah syara‟. Sampai saat ini isu konflik berlatarbelakang agama masih terus menghantui keamanan dan perdamaian dinegeri yang sangat beragam ini. Dalam menyikapi permasalahan ini maka bermunculan ide dan pandangan bagaimana untuk saling menghargai khususnya antar sesama pemeluk agama baik dalam hal menjalankan ibadah atau dalam kehidupan sehari-hari, bahkan sampai muncul pada wacana menganggap semua agama sama.
Pemikiran yang menganggap semua agama itu sama telah lama masuk ke Indonesia dan beberapa negara Islam lainnya. Tapi akhir-akhir ini pikiran itu menjelma menjadi sebuah paham dan gerakan baru yang kehadirannya serasa begitu mendadak, tiba-tiba dan mengejutkan.Ummat Islam seperti mendapat kerja rumah baru dari luar rumahnya sendiri. Padahal ummat Islam dari sejak dulu hingga kini telah biasa hidup ditengah kebhinekaan atau pluralitas agama dan menerimanya sebagai realitas sosial.
Sebenarnya paham ini bukan baru, akarnya seumur dengan akar modernisme di Barat dan gagasannya timbul dari perspektif dan pengalaman manusia Barat. Namun kalangan ummat Islam pendukung paham ini mencari-cari akarnya dari kondisi masyarakat Islam dan juga ajaran Islam. Kesalahan yang terjadi, akhirnya adalah menganggap realitas kemajemukan (pluralitas) agama- agama dan paham pluralisme agama sebagai sama saja. Pluralisme agama malah dianggap realitas dan sunnatullah, padahal keduanya sangat berbeda yang pertama (pluralitas agama) adalah kondisi dimana berbagai macam agama wujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau negara. Sedangkan yang kedua (pluralisme agama) adalah suatu paham yang menjadi tema penting dalam disiplin sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan juga agenda penting globalisasi.
Pluralisme dan multikulturalisme di negeri ini sudah muncul sejak kehadiran manusia purba di Nusantara. Bukti-bukti arkeologis menunjukkan, keragaman yang dimiliki bangsa ini sejak prasejarah itu telah menciptakan mozaik yang indah dalam tampilan fisik manusia dan budaya Indonesia. “Pluralisme dan multikulturalisme bagi bangsa ini merupakan sebuah keniscayaan; sesuatu yang memang harus ada dan tidak terbantahkan,” kata Harry Truman Simanjuntak, ahli arkeologi prasejarah dari Puslitbang Arkeologi Nasional.
Terlepas dari sejarah panjangnya, kini pluralisme sering dihubungkan dengan terjadinya konflik diberbagai daerah, misalnya di Poso dan Papua cukup menyita publik dan pemerintah. Pluralisme di Indonesia merupakan realitas yang tidak terbantahkan. Setidaknya terdapat tiga kategori; Pertama, secara sosial. Keragaman etnis, bahasa, dan agama adalah yang paling mencolok untuk kategori ini. Menurut sensus penduduk tahun 2000, terdapat 1.000 lebih jumlah kelompok etnis di Indonesia. Kedua, secara ekonomi, untuk yang satu ini, indikator yang paling mudah dilihat adalah angka kemiskinan, menurut data BPS terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin antara Februari 2005 hingga Maret 2006 sebesar 3,95 juta orang atau jumlahnya mencapai 39,05 juta orang, sama dengan 17,75 persen jumlah penduduk. Sementara angka pengangguran diakui pemerintah mencapai 10,4 persen pada Februari 2006. Ini hanya sekelumit angka yang bisa menyumbang kesenjangan ekonomi dalam masyarakat (Maksum, 2010: 61).
Ketiga, secara politik dan kelembagaan.Rendahnya rasio antara jumlah polisi dan masyarakat.Meningkatnya kompetisi politik di masyarakat pasca perubahan politik, dari desa hingga nasional.Serta masih lemahnya keterlibatan organisasi masyarakat dalam pengawasan dan pengambilan kebijakan. Itu semua merupakan karakteristik pluralisme politik yang bisa menjadi potensi konflik (Maksum,2010: 61)
Peta konsep itu menjelaskan gambaran bagaimana tiga kategori dasar pluralisme agama di Indonesia.
Dari data diatas sudah jelas potensi konflik yang akan terjadi disebabkan beberapa faktor, diantaranya faktor ekonomi, politik dan social. Indonesia sebagai sebuah bangsa harus memiliki daya analisa yang cukup tajam terkait dengan potensi konflik dan potensi persatuan yang harus dibangun diatas multi kulralisme yang ada, sehingga dikemudian hari berbagai konflik yang terjadi itu bisa di cegah jauh sebelum konflik tersebut meletus.
Sementara dilain pihak sebuah tim dari World Bank (Barron et al, 2004) pernah memetakan konflik yang terjadi di Indonesia. Dengan menggunakan data statistik potensial desa (PODES) dan riset kualitatif, berhasil dipetakan konflik di 69.000 desa dan lingkungan. Hasilnya cukup menarik, keragaman etnis ternyata bukan sumber konflik. Namun, tidak adanya satu etnis dominan (<40%) di sebuah kecamatan bisa menjadi potensi konflik. Pluralisme tidak harus dipandang negatif, sebaliknya itu juga bisa menjadi potensi positif, bahkan bisa bermakna konkret seperti potensi ekonomi (Maksum, 2010: 61). Pertanyaan yang harus dijawab kemudian adalah bagaimana cara pengelolaan pluralisme agar tidak menjadi konflik, perbedaan yang ada tidak dijadikan sebagai sebuah potensi yang akan memberikan hasil yang negatif berupa konflik yang ujungnya menghasilkan korban jiwa, kalau sudah terdapat korban jiwa maka konflik tersebut akan semakin parah karena menimbulkan dendam dan saling membalas diantara kelompok yang terlibat konflik tersebut. Dalam hal ini peran dari semua elemen yang ada sangat penting, mulai dari tokoh agama, pimpinan pemerintah sampai pada peran aktif masyarakat harus ditingkatkan pula sehingga potensi potensi konflik itu bisa diredam.
Pengelolaan pluralisme (diversity management) saat ini menjadi salah satu perhatian penting banyak negara di Eropa Timur dan Tengah, termasuk Uni Eropa. Mereka berusaha menarik pelajaran berharga dari tragedi konflik etnis di bekas negara-negara Yugoslavia pada awal 1990-an. Juga munculnya peningkatan jumlah migran menuju negara Eropa Barat yang dianggap berpotensi serupa. Pada intinya, pengelolaan pluralisme didefinisikan sebagai aktivitas pemerintah untuk mengusahakan agar tercapai kesatuan sosial dalam masyarakat yang majemuk. Prinsip utama dalam mengelola pluralisme adalah inklusifisme. Prinsip ini tidak dipahami dalam konteks keberadaan mayoritas dan minoritas dalam masyarakat saja. Tetapi, pemerintah menjamin kesempatan yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk berkembang (Maksum, 2010: 61).
Meski definisi itu terlalu sempit untuk konteks Indonesia, kita bisa menarik pelajaran, terutama dengan menyadari bahwa pluralisme adalah sesuatu yang perlu dikelola agar tidak menjadi potensi konflik. Instrumen utama yang perlu dimiliki oleh pemerintah adalah kebijakan yang bermuatan inklusifisme. Artinya, kebijakan itu mengakomodasi keberagaman masyarakat, namun tetap memiliki jaminan kesamaan dalam hak. Untuk hal ini, UUD 1945 sudah lebih dari cukup sebagai pedoman dasar. Perlu ditindaklanjuti yang berkaitan dengan perangkat aturan dan struktur organisasi pemerintah di tingkat pelaksana. Aturantampaknya sudah mulai mengarah ke sana, namun praktiknya masih perlu dipertanyakan. Apalagi untuk integrasi organisasi penanganan konflik yang disebabkan oleh masalah pluralisme.Misalnya, ketika Poso bergejolak kembali, semestinya pendekatan hukum bukan satu-satunya penyelesaian, melainkan bagaimana keadilan dalam pengertian luas diwujudkan (Maksum, 2010; 62).
Dari sini empat pertanyaan sebagai arah solusi bisa dikemukakan. Bagaimana mengakomodasi pluralisme dalam pembuatan kebijakan? Bagaimana pluralis memengakomodasi pembagian kekuatan antarkelompok? Bagaimana penyelesaian dan pencegahan konflik mengakomodasi keberagaman? Bagaimana pelayanan publik mengakomodasi pluralisme? Satu catatan lagi, dalam mengelola pluralisme, juga perlu diupayakan adanya transparansi dan partisipasi (Peteri, 2006). Meski pemerintah menjadi aktor utama karena dinilai netral dan mampu, bukan berarti keterlibatan unsur masyarakat dinafikan. Justru sebaliknya, prinsip inklusifisme harus kembali ke masyarakat. Tokoh masyarakat sekaligus pengikutnya dari kalangan bawah harus menjadi bagian dari pengelolaan keberagaman itu. Caranya dengan melibatkan mereka secara langsung dan memberi mereka akses yang luas untuk tahu dan mendengar (Maksum, 2010: 62).
Pandangan Maksum dalam mengelola pluralisme, lebih pada peran pemerintah daerah adalah sebagai ujung tombaknya. Bukan saja karena setiap konflik lokasinya di daerah, juga karena daerahlah yang tahu betul karakteristik dan keseharian masyarakatnya. Apalagi desentralisasi yang sudah berjalan, sangat memungkinkan bagi daerah untuk mendesain model pengelolaan pluralisme yang sesuai dengan dirinya.
Pengelolaan pluralisme tersebut dilakukan melalui beberapa langkah. Pertama, dengan carameluaskan cara berpikir lama bahwa pluralisme hanya dipahami sebatas perbedaan etnis, agama atau sosial semata. Bukan juga hanya persoalan mengakomodasi minoritas. Tapi merupakan dimensi luas perbedaan yang laten dan empiris dalam masyarakat. Yang bila dibiarkan senjang akan berpotensi menuju konflik. Seperti pengangguran, kesenjangan pendapatan dan pemihakan politik yang ekstrim. Kedua, sebagai konsekuensinya, pemerintah daerah perlu mengelola pluralisme secara integratif. Bukan seperti saat ini, pluralisme seolah-olah menjadi tugas pokok dan fungsi badan kesatuan bangsa dan sejenisnya saja. Artinya, kepala daerah dan staffnya harus segera mengintegrasikan pengelolaan pluralisme oleh seluruh instansi. Secara praktis, bisa dimulai dengan pembuatan perda-perda dan program pembangunan yang sensitif terhadap situasi pluralisme di daerahnya. Aparat keamanan dan masyarakat lokal sejatinya perlu juga untuk dimintai pendapatnya.
Ketiga, pelayanan masyarakat adalah ujung tombak pengelolaan pluralisme. Mengingat akar keberagaman ada dimasyarakat tingkat desa dan lingkungan, maka pemerintah daerah mesti sigap. Pelayanan puskesmas, rumah sakit, kantor desa dan kelurahan didesain agar sensitif terhadap keberagaman. Begitu pula dengan sekolah, perbankan, listrik dan air dan yang lainnya harus harus bisa diakses semua kalangan. Satu hal lagi dan sangat penting, pendidikan dan kampanye keberagaman mesti dilakukan sejak dini dan di lingkungan terkecil. Melahirkan perdamaian memang bukan pekerjaan mudah, tapi bisa dimulai dengan kesadaran dan kepekaan akan keberagaman (Maksum, 2010: 63).
Dilain pihak, Suhaedi menyampaikan tentang banyaknya kekerasan di Indonesia :
Dalam berbagai aksi kekerasan terdapat setidaknya tiga dimensi.Yaitu, Dimensi agama yang diperankan oleh organisasi keagamaan seperti MUI dan ormas Islam yang menjadi salah satu aktor penting dalam membentuk perspesi masyarakat. Dimensi negara yang diperankan oleh aparat keamanan dan hukum yang tidak mampu memberikan keamanan dan perlindungan kepada korban. Dimensi civil society yang diperankan para pelaku kekerasan yang secara sosial semestinya memiliki batas-batas solidaritas dan toleransi tertentu yang dibutuhkan. Jika masing-masing hal tersebut diluaskan dimensinya, maka aparat negara bisa diikutkan didalamnya berbagai aturan dan perundang- undangan yang tidak mendukung atau bahkan cenderung bertentangan dengan Konstitusi negara dan mengancam harmoni antar kelompok masyarakat dalam Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika.
Indonesia masih menuju negara yang sempurna dalam jaminan kebebasan beragama dan berekspresi. Lebih dari itu, mungkin bisa diekplisitkan bahwa eksistensi negara Indonesia telah mendekati karakter negara sekular yang tidak memihak salah satu agama tertentu dan memberikan jaminan bagi semua agama dan kepercayaan. Ini bisa dilihat dari substansi dan pasal-pasal dalam konstitusi UU 1945 amandemen, misalnya pasal 28 ayat e yang secara eksplisit menjamin warga negara untuk memeluk agama dan keyakinan tanpa batasan, adanya ratifikasi ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) melalui UU No. 12 Tahun 2005, serta UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Semua itu memberikan jaminan kepada warga negara tanpa pandang bulu dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta berekspresi. Dan yang jauh lebih penting lagi bahwa semua UU tersebut menugaskan kepada negara terutama pemerintah untuk melaksanakannya, tidak lupa ditimpali dengan sangsi jika pemerintah tidak melakukannya.
Secara substansial terbangun sebuah basis negara yang sangat kuat untuk suatu kehidupan pluralisme dan multikulturalisme atau menggunakan kata yang lebih formal Bhinneka Tunggal Ika.Namun, konstitusi yang bersifat tekstual itu ternyata jauh dari jaminan riil dalam masyarakat. Suhaedi menyampaikan dalam tulisannya :
Paralel pula dengan perkembangan hukum, maka munculnya berbagai Peraturan Daerah (Perda) yang bernuasa agama atau di Aceh disebut “Kanun”, perlu diberi catatan tersendiri. Secara kuantitatif, Robin Bush (2007) telah menghitung maraknya Perda yang bernuansa agama (khususnya Islam) akhir-akhir ini, mislanya, berjumlah sekitar 78 Perda, di 52 Kabupaten dan Kota, belum termasuk SK (Surat keputusan) Bupati, Walikota dan Gubernur dan draf yang belum diputus oleh DPRD tentang persoalan ini. Maka, jika pertumbuhan itu terus berlanjut, mau tidak mau memang mungkin akan memengaruhi arah perkembangan hukum nasional atau bahkan konstitusi. Keputusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak Judicial Review atas Perda Tangerang (Nurun Nisa dkk., 2007) tentang anti prostitusi yang diskriminatif terhadap perempuan dengan alasan bukan ruang lingkup MA, telah menimbulkan kehawatiran lebih besar tentang perkembangan tersebut.
Perkembangan pluralisme Indonesia memang sudah melibatkan tiga dimensi yang disampaikan sebelumnya, dimensi negara melalui aparat penegak hukum dan undang-undang yang secara eksplisit mengatur tentang kebebasan manusia dalam hal beragama dan hal lain sudah jelas diatur. Dari dimensi agama, adanya peran-peran organisasi keagamaan baik sebagai bagian dari konflik atau bagian dari penyelesaian konflik serta dimensi civilsociety yang beragam itu pula harus terlibat dalam perwujudan penyelesaian konflik di Indonesia. Bangsa Indonesia secara tegas mengakui adanya keberagaman hal ini tercantum dengan tegas dalam konstitusi dan dasar Negara dengan adanya pancasila dan bhineka tunggal ika adalah bukti nyata pemeritah Indonesia memfasilitasi semua kelompok, agama, adat istiadat, suku bangsa dan sebagaianya untuk bisa tumbuh kembang di Indonesia.