Mulai dari Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno telah mengawali usahanya dalam rangka pencarian identitas bangsa Indonesia dengan ungkapannya, “Jiwa bangsa yang hidup, tidak pernah berhenti berjalan, seni yang hidup pun tidak pernah berhenti“ Untuk mendukung hal itu, maka bung Karno menggagas konsep Trisakti yang up to date sampai sekarang ini yang terdiri dari;
- Berdaulat dalam politik,
- Berdikari dalam ekonomi,
- Berkepribadian dalam kebudayaan.
Berdaulat dalam politik berarti bahwa bangsa ini memiliki kedaulatan penuh sehingga tidak didekte oleh pihak asing dalam menentukn masa depannya. Berdikari dalam ekonomi berarti bahwa bangsa ini harus memiliki kekuatan dan kemandirian dalam ekonomi, tidak tergantung pada bantuan dan hutang luar negeri. Berkepribadian dalam kebudayaan berarti bahwa bangsa ini harus memiliki akar kultural yang kuat sebagai landasan karakter kepribadian sehingga memiliki pribadi ala Indonesia yang kokoh meskipun dibanjiri budaya asing sehingga tidak mudah tercerabut dari akarnya. Akar budaya yang berpijak pada kebhinekaan merupakan identitas yang dimiliki bangsa Indonesia.
Usaha untuk menciptakan awareness akan karya seni batik sebagai identitas nasional dilanjutkan oleh presiden kedua Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu bapak Soeharto. Beliau melihat peluang emas agar seni batik di kenal dunia dengan mengenalkannya melalui peristiwa penting yakni Asia Pacific Economic Conference (APEC) di istana Bogor pada tahun 1994. Pada saat itu semua pemimpin negara yang hadir dalam konferensi APEC di daulat untuk mengenakan baju batik. Peristiwa langka ini tentu menjadi sorotan media dunia karena kedelapan belas pemimpin dari berbagai negara seperti Presiden Bill Clinton dari Amerika Serikat, Perdana Menteri Canada, Jepang dan beberapa pimpinan negara lain berfoto bersama mengenakan kemeja batik yang di desain oleh desainer kondang, Iwan Tirta.
Adapun Presiden ke enam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono telah menorehkan sejarah yang tak lekang dimakan zaman yakni upaya untuk mengusulkan batik sebagai warisan budaya Indonesia disambut baik oleh UNESCO. Tanggal 2 Oktober 2009 merupakan tonggak diakuinya batik sebagai warisan budaya dunia tak benda dari negara Indonesia.
Sedangkan Presiden ke tujuh Negara Kesatuan Republik Indonesia, Joko Widodo juga menunjukkan kepedulian akan warisan seni batik. Beliau menetapkan dress code batik coklat pada saat upacara pelantikan menteri dalam Kabinet Kerja. Dukungan akan batik sebagai identitas kultural bangsa Indonesia terus mengalir sampai sekarang. Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian telah mendukung keberlangsungan industri batik dan memetakan sejumlah pengrajin batik dengan memberikan Batikmark sebagai upaya untuk melindungi motif batik dari pembajakan. Batikmark juga menunjukkan bahwa batik tersebut memiliki kualitas bagus. Sebanyak 106 pengrajin batik dari 50 ribu pengrajin di seluruh Indonesia sudah bersertifikat dan teruji sebagai batik berkualitas. Batikmark merupakan tanda yang menunjukkan identitas atau ciri batik buatan Indonesia. Ada tiga jenis penggolongan dalam batik mark 1. Kategori emas untuk batik tulis, perak untuk batik campuran tulis dan cap, serta putih untuk batik cap. Batikmark mulai berlaku di Indonesia sejak tahun 2007 dan merupakan inisiasi dari Kamar Dagang Indonesia, Yayasan Batik Indonesia, Kementerian Pariwisata, dan Kementerian Perindustrian. Adapun tujuan utama dari Batikmark adalah untuk menghadapi kompetisi dan pembajakan terlebih di era teknologi canggih dalam globalisasi.
Berkaitan dengan ulasan artikel ini, maka pengaruh globalisasi terfokus pada aspek kebudayaan, khususnya batik yang menjadi identitas kulltural bangsa Indonesia. Yamashita (2003:4) dalam bukunya membahas proses kebudayaan yang sedang berlangsung dan relasinya dengan globalisasi ekonomi maupun politik. Di Asia Tenggara, komunitas nasional, etnik maupun sub-regional menyumbang sebagai agen-agen produksi budaya. Namun mereka bukanlah entitas yang sama seperti dahulu melainkan komunitas berbeda karena mereka telah “campur” dengan hal asing yang merangsek masuk sehingga homogenitas suatu kebudayaan dipertanyakan. Tidak ada lagi keunikan dan kekhasan suatu budaya setelah globalisasi masuk. Identitas budaya suatu komunitas mulai luntur perlahan tapi pasti. Kontestasi identitas kultural ini mendapatkan tantangan karena terus menerus bersentuhan dengan usaha- usaha internasional, kelas sosial, gender, dan lain-lain sehingga entitas lokal berupaya untuk meredefinisi identitas kultural yang telah melahirkan kebudayaan baru.
Santernya globalisasi yang membawa panji-panji kapitalisme telah masuk dengan mudahnya di Indonesia. Hal ini tentu memberi banyak dampak dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bangsa Indonesia mengalami tiga krisis besar yaitu,
- Krisis kedaulatan karena bangsa ini didekte oleh kekuatan dan kekuasaan asing,
- Krisis ekonomi karena hegemoni kapitalisme,
- Krisis budaya karena bangsa ini semakin tercerabut dari akar budayanya akibat budaya massal yang dipompa oleh kapitalisme global.
Menurut Tilaar (1999) manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk budaya adalah seseorang yang menguasai dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai budaya, khususnya nilai-nilai etis dan moral yang hidup dalam kebudayaan tersebut.
Nilai-nilai etis dan moral yang tertuang dalam seni batik merupakan perwujudan solidaritas sosial yang diikat oleh aturan dan nilai budaya yang dianut oleh masyarakat. Namun seiring dengan masuknya ruh kapitalisme yang menawarkan persaingan ekonomi, maka nilai-nilai budaya yang termaktub dalam seni batik mengalami pergeseran dan cenderung penyempitan yang mengarah pada privatisasi. Seni batik yang awalnya cermin solidaritas yang komunal berubah menjadi personal ketika didesak oleh panji-panji kapitalisme yang diusung pasar global. Maka mulailah bermunculan individulisme yang berakar dari ruh kapitalisme dalam berkarya seni. Fuad Hasan menyebutnya “Kekamian dan bukan kekitaan.” Kebersamaan dan solidaritas telah berganti menjadi keakuan. Hal ini mengakibatkan seni budaya tradisi milik masyarakat mulai pudar termasuk nilai-nilai budaya dan makna filosofinya.
Perubahan yang begitu cepat ini dijelaskan oleh Delor’s Report yang mengusung isu global yaitu ketegangan antara tradisi dan modernitas, global versus lokal, universal dan individual, kelanggengan dan pembaharuan. Kondisi budaya karena bertemunya dua nilai akibat penduniaan dalam segala bidang yang pada puncaknya menimbulkan ketegangan antara yang spiritual dan material. Pengaruh globalisasi menggeser nilai seni khususnya seni batik, dari seni yang penuh filosofis, religius dan simbolik berubah menjadi seni yang bersifat material semata. Karya seni yang seperti ini tercipta karena kebutuhan praktis dan ekonomis.
Kekuatan kapitalisme dalam era globalisasi tidak mampu dielakkan sehingga kekuatan ini harus disikapi dengan arif. Berbagai upaya terus dilakukan untuk “menyambut” globalisasi sekaligus menyusun strategi agar bangsa ini tidak hanyut dalam arus global semata yang mampu menggerus budaya kita. Bangsa Indonesia harus menunjukkan eksistensinya dengan menunjukkan ciri khas yang dimiliki. Ciri khas inilah yang menjadikan bangsa Indonesia unik sekaligus menjadi penanda eksistensinya. Adapun penanda yang terpilih diantara kebhinekaan yang ada jatuh pada karya seni adiluhung berupa seni batik.
Berbagai kegiatan yang berkaitan dengan seni batik ditujukan untuk mensosialisasikan batik pada masyarakat. Adapun sosialisasi adalah proses pengalihan ide-ide, pengetahuan, sikap dan tingkah laku dari satu generasi ke generasi berikutnya. Proses ini berlangsung dimulai dari keluarga, teman, pendidikan formal dan non formal, dan pergaulan di masyarakat. Sosialisasi merupakan istilah yang sering dipakai oleh para sosiologist, adapun para antropologist menggunakan istilah enkulturasi yang merujuk pada proses yang sama. Sedangkan internalisasi adalah penjiwaan dari proses tersebut sampai membentuk pengetahuan dan perilaku. Internalisasi meliputi proses penghayatan, proses penguasaan secara mendalam melalui latihan, pengolahan, pemikiran, dan penghadiran tertentu lainnya. Oleh karena itu Koentjaraningrat (1986) menyebutkan proses internalisasi bersifat pribadi. Puncak proses yang mengerucut pada setiap pribadi inilah yang diupayakan bersama seluruh komponen masyarakat dan pemerintah dalam menggugah awareness atau kesadaran individu akan eksistensi batik sebagai identitas kulturalnya. Mengutip sabda dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Pakoe Boewono X dari Keraton Surakarta, “Rum Kuncaraning Bangsa Dumunung Haneng Luhuring Budaya” yang artinya harumnya nama dan tingginya derajat suatu bangsa terletak pada budayanya.
DAFTAR PUSTAKA
Biomantara, Rai; Martini Dewi. 2014—Analisis Skala Ekonomis Pada Industri Kain Batik di Kota Denpasar.“ E-Jurnal Ekonomi Pembangunan Universitas Udayana Vol.3, No. 11,November 2014.
Chandler, Michael J. 2014. —On being Indegenous: An Essay on the Hermeneutics of ”CulturalIdentity.“ Human Development. Switzerland. Vol. 56, No.2, pp83-97
Creswell, John W, 2007. Qualitative Inquiry and Research Design Choosing : Among Five Approaches. Second Edition. Thousand Oaks. London. New Delhi: Sage Publications, Inc.
Hardjonagoro KRTH. 1999. Motifs and Meanings in Batik: Spirit of Indonesia. Achjadi Ed. Jawa Barat. Yayasan Batik Indonesia
Haryanto, Jony Oktavian; Priyanto,Sony Heru. 2014. —Recent Future Research in Consumer Behavior: A Better Understanding of Batik as Indonesian Heritage. Proquest Research Library.Researchers World Vol 4 Ed. 410 April 2014.
Lindholm, Charles. 2007. Culture and Identity: The history, Theory, and Practice of Psychological Anthroplogy. Oneworld Publications. Oxford-England.
Moersid, Ananda Feria. 2013. “Re-invasi Batik dan Identitas Indonesia di Arena Pasar Global“ WIDYA.Volume 1 Nomor 2. Juli-Agustus 2013.
Nurainun, Heriyana; Rasyimah. 2008. Analisis Industri Batik di Indonesia.Fokus Ekonomi, Desember 2008, Vol 7. No.3.
Oparinde, Suleiman Sunkanmi. 2012. Batik as a Cultural Identity of the Yoruba : Hand Colouring Techniques and Applications Possibility of Adaptations. Journal of Arts, Science and Commerce Vol III Issue 2 (3) April2013.
Ritchie, Jane and Jane Lewis. 2003. Qualitative Research Practice: A Guide for Social Science Student and Researchers. London.Thousand Oaks. New Delhi. Sage Publications Ltd.
Shepard, B and Hayduk, R. 2002. From ACT Up to WTO : Urban Protestand Community Building in theEra of Globalization. London:Verso. England.
Sularso, 2009. 60 Tahun Gabungan Koperasi Batik Indonesia. Koperasi Pusat Gabungan Koperasi Batik Indonesia. Jakarta.
Sutrisno. 2012. Tinjauan Sosial Terhadap Berkurangnya Tenaga Pembatik Pada Industri Batik.—Journal of Economi Education 1(1) 2012.
Suseno, Franz Magnis. 1985. Etika Jawa. Gramedia. Jakarta.
Van Roojen, Pepin. 2001. Batik Design. Singapore: The Pepin Press.
Voicu, Christina Georgiana. 2013.”Cultural Identity and Diaspora“ Philobiblon. Vol. 18, No. 1, pp.161-174
Widagdo. 2001. Pendidikan Tinggi Seni Rupa Dalam Wacana Global. Makalah. Bandung ITB.