Puncak dari Keraton Cirebon serta bukti fisik dari kejayaan Kasepuhan Cirebon yang bisa kita lihat sekarang ini adalah berkat peran dari Syarif Hidayatullah atau yang lebih kita kenal sebagai Sunan Gunung Jati. Menurut semua sejarah lokal dari Cirebon termasuk cerita Purwaka Caruban Nagari, masuknya Islam di Cirebon pada abad 15 yaitu pada tahun 1470. disebarkan oleh Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah. Penyebaran agama Islam itu dimulai ketika Syarif Hidayatullah berusia 27 tahun yaitu dengan menjadi mubaliqh Cirebon. Di tahun 1479 Syarif Hidayatullah menikah dengan Nyi Ratu Pakungwati, putri dari pangeran Cakrabuana. Pengganti pangeran Cakrabuana sebagai penguasa Cirebon di berikan pada Syarif Hidayatullah. Pada tahun pengangkatannya Syarif Hidayatullah mengembangkan daerah penyebarannya di wilayah Pajajaran.
Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanannya menuju ke daerah Serang yang sebagian rakyatnya sudah mendengar tentang Islam dari pedagang-pedagang dari Arab dan Gujarat yang berlabuh di pelabuhan Banten. Syarif Hidayatullah mendapat sambutan hangat dari adipati Banten. Daerah-daerah yang telah diislamkan antara lain : Kuningan, Sindangkasih, Telaga, Luragung, Ukur, Cibalagung, Kluntung, Bantar, Indralaya, Batulayang, dan Timbangaten. Di wilayah Pejajaran Agama Islam berkembang pesat di negeri Caruban yang dipimpin oleh Syarif Hidayatullah. Demak kemudian menjalin persahabatan dengan Syarif Hidayatullah. Setelah mengenal Syarif Hidayatullah Raden Patah bersama-sama para mubaliqh yang sudah bergelar sunan menetapkan Syarif Hidayatullah sebagai Panata Gama Rasul di tanah Pasundan. Panata Gama Rasul artinya orang yang ditetapkan sebagai pemimpin penyiaran Agam Nabi Muhamad di tanah Jawa. Kemudian atas kesepakatan para sunan Syarif Hidayatullah di beri gelar Sunan Gunung Jati dan menjadi Sunan paling terakhir yaitu sunan ke-9 dari sunan 9 sunan lainnya.
Kerajaan-kerajaan yang berhasil ditaklukkan Sunan Gunung Jati diantaranya:
- Talaga, sebuah kerajaan yang beragam Hindu yang terletak di sebelah barat daya Cirebon di bawah kekuasaan Prabu Kacukumun.
- Rajagaluh, bekas pusat kerajaan Pajajaran yang beragam Hindu yang diperintah Prabu Cakraningrat. Prabu Cakraningrat tidak senang dengan kemajuan Cirebon dan persebaran agama Islam di Cirebon di tangan Sunan Gunung Jati. Akibatnya timbulah perang antara Cirebon dengan Rajagaluh, kemenangan berada di tangan Cirebon. Berakhirnya kekuasaan Rajagaluh sekaligus merupakan berakhirnya kekuasaan kerajaan Hindu di daerah Jawa Barat sebelah Timur.
Pada tahun 1498 para Walisongo yang diprakarsai oleh Sunan Gunung Jati membangun Masjid Agung Cirebon. Pembangunannya dipimpin oleh Sunan Kalijaga dengan seorang arsitek Raden Sepat ( dari Majapahit bersama 200 orang pembantunya dari Demak ). Masjid ini juga disebut Sang Cipta Rasa karena terlahir dari rasa dan kepercayaan penduduk. Pada masa itu juga disebut dengan Masjid Pekungwati karena dulu masjid itu terletak dalam komplek keraton Pekungwati dan sekarang dalam komplek kasepuhan. Menurut cerita masjid itu dibangun dalam waktu semalam dan besok pada waktu subuh digunakan untuk Sholat Subuh. Pada tahun 1568 Sunan Gunung Jati meninggal pada usia yang sangat lanjut yaitu 120 tahun, dia dimakamkan di pertamanan Gunung Jati.
Bukti kejayaan Kasepuhan Cirebon
Kereta Singa Barong Peninggalan Kasepuhan
Singa Barong merupakan bukti fisik kejayaan Kasepuhan Cirebon, benda peninggalan yang berada di mueum Kasepuhan Cirebon ini adalah nama kereta pusaka yang berbentuk barong, sejenis binatang mitologis atau ajaib. Keajaiban wujudnya itu bisa dilihat dari adanya pelbagai unsur, yang merupakan penggabungan antara singa atau macan (tubuh, kaki, mata), gajah (berbelalai), garuda (bersayap), dan naga (mulut yang menyeringai dengan lidah menjulur). Istilah barong itu sendiri, yang banyak terdapat dalam kesenian di pulau Jawa dan Bali, memiliki makna “ajaib”, yaitu seekor binatang bukan yang nyata ditemukan dalam realita kehidupan. Dalam hal Singa Barong, pengambilan keempat jenis binatang itu mungkin terutama berdasar pada makna kekuatan atau keperkasaannya. Hal itu dipertegas dengan belalai yang melingkar ke atas keningnya itu “memegang” senjata trisula (tiga mata-tombak, terdapat di kedua ujung depan dan belakang), yang menambah ekspresi atas kekuatan dan keangkerannya.
Kereta Singa Barong, menurut cerita itu, awalnya ditarik oleh dua pasang kerbau, bukan oleh kuda seperti pada umumnya kereta. Entah bagaimana secara persis memfungsikannya, tapi dengan tarikan kerbau menunjukkan bahwa kereta ini bukan sebagai kendaran angkutan yang cepat, melainkan yang kuat atau kokoh. Ia bukan untuk menempuh jarak jauh, melainkan mungkin hanya untuk pencapaian tempat-tempat penting dalam radius belasan atau 20-an km saja dari istana. Dengan berjalan lambat, keagungan raja (Sultan) yang mengendarainya lebih bisa disaksikan oleh rakyatnya.
Kini, tentu saja, kereta ini tidak lagi dipakai sebagai kendaraan Sultan, tapi terus tersimpan dengan baik sebagai pusaka di ruangan khusus, di museum dalam tembok Kraton Kasepuhan. Pada tahun awal 1990-an, menjelang diselenggarakannya Festival Kraton Nusantara di Cirebon, dibuatkan duplikatnya bersamaan dengan pembuatan duplikat kereta-kereta kraton lainnya: Paksi Naga Liman dari Kraton Kanoman, dan pembuatan Pedati Gede Pekalangan yang merupakan rekonstruksi, karena kereta tertua ini telah musnah, karena untuk mengenak bukti kejayaan Kasepuhan Cirebon maka dibuatlah kereta ini berdasarkan pada naskah-naskah sejarah. Duplikat Pedati Gede Pekalangan kini disimpan di Kraton Kacirebonan. Pada acara kirab (pawai) Festival Kraton Nusantara akhir 26 September 2004 di Yogyakarta, duplikat kereta Singa Barong ini turut pawai dengan ditarik sepasang kerbau, bukan dengan oleh dua pasang seperti yang diceritakan dalam sejarahnya. Dalam acara pembukaan Pesta Topeng Nusantara di Cirebon 16 Oktober 2010, duplikat kereta Singa Barong ini pun dipamerkan, “diarak” dari Kraton Kasepuhan hingga halaman Balai Kota, bersamaan dengan duplikat kereta-kereta kraton lainnya, termasuk Paksi Naga Liman, Pedati Gede Pekalangan, dan Kereta Jempana, tapi semuanya hanya ditarik dan didorong oleh belasan pemuda, bukan dengan kerbau, sapi, ataupun kuda.
Para peneliti Belanda pun sejak jaman kolonial telah menaruh perhatian yang besar padanya. Beberapa uraian dan foto-foto bisa ditemukan di berbagai sumber. Kini, di museum Kraton Kasepuhan Cirebon, kedua kereta yang asli dan duplikat disimpan berdampingan agar masyarakat bisa melihat bukti kejayaan kasepuhan cirebon. Hanya dengan melihatnya secara dekat kita bisa melihat dan membandingkannya secara teliti. Perbedaan dari keduanya terletak pada dua hal: secara fisik dan jiwa, yang tampak dan yang tak tampak. Walau bentuk keduanya sangat mirip, sulit dibedakan karena yang baru pun tampak tua, dan keduanya biasa diberi sesaji, tapi bagi masyarakat yang mempercayai kekuatan kepusakaannya, lebih menaruh penghormatan pada yang asli.
Relief Kembang dan Patung Teratai
Pada dinding keraton terdapat relief kembang Kanigara, relief tersebut bermakna bahwa seorang pemimpin diharapkan dapat selalu mengayomi rakyatnya. Jumlah kembang sesuai dengan raka’at sholat 5 waktu. 2 kembang berarti raka’at sholat Subuh, 3 kembang berarti raka’at sholat Maghrib, dan 4 kembang berarti raka’at sholat Dhuhur, Ashar, dan Isya’. Gambar burung berarti harus dapat memberikan rasa aman. Dan terdapat sepasang burung melambangkan 2 kalimat syahadat. Terdapat buah delima yang bermakna bahwa ketika menjalankan tugas harus dengan rasa ikhlas.
Simbol lain adalah adanya lambang patung teratai. Simbol tersebut bermakna bahwa manusia di mata Allah tidak memiliki jabatan apapun, yang membedakan manusia satu dengan manusia yang lain hanyalah amal dan ibadahnya. Disini kita bisa melihat bahwa bukti kejayaan Kasepuhan Cirebon tidak hanya soal fisik semata, namun juga tentang spiritualitas atau rohani seorang manusia.