Perjuangan Raden Ajeng Kartini
Nama | : Dyah Sapta Rini |
NIS/NISN | : – |
Program Studi | : Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) |
BAB I
PENDAHULUAN Perjuangan Raden Ajeng Kartini
-
Latar Belakang Raden Ajeng Kartini
Kartini adalah potret tragis perempuan diawal abad ke-20, ketika harkat perempuan dimaknai sebatas kanca wingking yang berkutat di sumur, dapur, dan kasur. Riwayat hidupnya menggambarkan penderitaan perempuan jawa yang terpasung dalam tembok tradisi dari adat istiadat masyarakat feodal – partriarkal Jawa yang begitu angkuh dan kukuh serta membatasi ruang gerak mereka, mulai dari pelarangan belajar, adanya pingitan, hingga harus siap di poligami oleh suami dengan alih-alih berbakti. Perjuangan Raden Ajeng Kartini merupakan semangat untuk kaum wanita untuk bisa sejajar dengan laki-laki pada zaman kolonial belanda, dan melalui tulisannya beliau berjuang mempertahankan kedudukan wanita di zamannya.
Kartini ingin mendobrak tradisi feodal – patriarkal yang menghambat kemajuan kaumnya menuju masa depan yang lebih cerdas, bebas, cemerlang, dan merdeka. Untuk itu, pendidikan mutlak Indonesia sebagai bangsa. Sebab, pengajaran kepada perempuan secara idak langsung akan meningkakan martabat bangsa. Senyatanya, “ Dari perempuanlah pertama-tama manusia itu menerima didikannya, dihari bersama ibunya, anak itu belajar merasa, berfikir, dan berkata-kata”.
Bagaimana kisah lengkap Kartini? Terlepas dari pertanyaan itu, dengan merefleksikan semangat dan pemikiran Kartini sebagaimana yang tertuang dalam buku, kita bisa meneruskan perjuangan Raden Ajeng Kartini untuk mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan, tentunya sesuai dengan kapasitas dengan potensi kita masing-masing.
Sampai disini dapat ditegaskan, bahwa kondisi sosial dan pendidikan masyarakat Indonesia yang dihasilkan oleh kegiatan politik etis nampaknya belum memadai. Dari segi sosial, utamanya masalah ekonomi, masih sangat rapuh. Pada hakekatnya, perbaikan ekonomi yang ada bukan untuk masyarakat, melainkan pemerintah Belanda yang diuntungkan. Dari segi pendidikan, juga belum menunjukkan hal yang menggembirakan, apalagi sampai derajat memadai. Pendidikan yang dilaksanakan dalam program politik etis itu hanya sampai memberikan hasil tersedianya tenaga birokrat baru, dan itupun pada level rendahan kebanyakan untuk direkrut dalam sistem pemerintahan Kolonial Belanda. Pendidikan belum dimaksud untuk memberdayakan masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya.
-
Rumusan Masalah Penulisan
-
- Bagaimana perjuangan Raden Ajeng Kartini dalam emansipasi wanita ?
- Bagaimana kemerdekaan di mata Kartini ?
- Bagaimana sejarah wafatnya Kartini ?
-
Tujuan Penulisan Biografi RA Kartini
Dalam penulisan karya tulis ilmiah ini, penyusun memiliki tujuan antara lain :
-
- Agar dapat mengerti perjuangan Raden Ajeng Kartini dalam emansipasi perempuan.
- Agar supaya mengetahui makna kemerdekaan di mata Kartini.
- Agar mengetahui tentang sejarah wafatnya Kartini.
-
Manfaat Penulisan Biografi RA Kartini
-
- Untuk menambah wawasan tentang perjuangan Raden Ajeng Kartini dalam emansipasi perempuan.
- Untuk menambah pengetahuan tentang makna kemerdekaan di mata Kartini.
- Untuk menambah wawasan tentang sejarah wafatnya Kartini.
BAB II
PEMBAHASAN Perjuangan R.A Kartini
-
Landasan Teori Biografi
Dari tahun ke tahun pendidikan berjalan apa adanya dalam kelas-kelas tertentu. Kebanyakan para murid adalah golongan laki-laki saja, sedangkan gadis-gadis pribumi tidak seperti para gadis asing lainnya yang ikut mengenyam pendidikan hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Karena situasi politik yang tak menentu dan kuatnya pengaruh adat, maka perempuan pribumi terbelakang dalam bidang pendidikan. Mereka hanya bertugas mengurus rumah tangga dan mengasuh anak-anak mereka. Setelah melanjutkan Sekolah Rendah, mereka menjadi gadis-gadis pingitan dan dipersiapkan masuk jenjang berikutnya, yakni berumah tangga. Disinilah mulai muncul sikap perjuangan Raden Ajeng Kartini yang ingin membebaskan kaum prempuan dari keterbelakangan dan ingin memajukan pendidikan kaum perempuan. Beliau terpengaruh oleh gadis-gadis asing yang berpikiran maju. Beliau juga terpengaruh dari banyaknya membaca buku dan berkomunikasi dengan orang-orang berpendidikan, seperti J.H. Abendanon dan istrinya dari golongan etis ; Van Kol, pemimpin Partai Sosial Demokrat ; N.Andrini ; Lessy, dan lain-lain.
Apa yang diperjuangkan Raden Ajeng Kartini bermaksud mengubah adat lama yang menghalangi kemajuan bagi kaum perempuan. Beliau mengawasinya dengan memperjuangkan kemajuan dan kedudukan perempuan bangsawan karena perempuan golongan biasa dengan sendirinya akan meniru kemajuan perempuan bangsawan. Dalam mengejar cita-citanya Kartini mendirikan sekolah untuk para gadis bangsawan, dengan maksud para gadis pribumi dikemudian dari dapat memperbaiki kedudukan kaum perempuan. Cita-cita dan semangatnya tertuang dalam surat-suratnya dijelaskan tentang pergaulan lingkungan, keadaan rakyat yang terbelakang, minimnya pendidikan dan pengajaran bagi para gadis. Kartini pun mengecam para pejabat Belanda yang idak menaruh perhatian kepada rakyat banyak, tetapi hanya menaruh kepada para bupati serta menunda-nunda perluasan pendidikan bagi kalangan Bumi Puetra yang mereka anggap sangat membahayakan kedudukan pemerintah Kolonial Belanda. (hal. 20 – 21 Buku Raden Ajeng Kartini)
-
Deskripsi Data Perjuangan Kartini
-
-
Perjuangan Kartini Dalam Emansipasi Perempuan
-
Kartini telah memberikan aspirasi kepada banyak perempuan di dunia, bahkan Eleanor Roosevelt pun terkesan setelah membaca terjemahan kumpulan surat-surat Kartini, Letters of A Javanesse Princess. Bagi Eleanor, gagasan-gagasan yang ditemukannya dalam surat-surat itu sanga menggugah hati nuraninya. Perjuangan Raden Ajeng Kartini adalah sebuah perjuangan dengan memberikan semangat dan pemikiran bagi bangsa Indonesia, terutama kaum perempuan, untuk bisa maju seperti laki-laki dalam segala bidang, khususnya dalam mengejar pendidikan, dan ilmu pengetahuan. Ini adalah perjuangan Raden Ajeng Kartini yang pertama, mengalami tekanan batin yang merasa terjajah dari kungkungan adat istiadat dan budaya yang menempatkan seorang perempuan di sudut kehidupannya. Ketika itu hidup perempuan hanyalah menjalankan kodratnya saja, tanpa diberikan kesempatan untuk mengembangkan potensi yang ada pada dirinya. Padahal setiap manusia diberikan potensi masing-masing yang menyertai dirinya. Padahal inilah yang akhirnya berkembang menjadi suatu kemajuan dalam ilmu pengetahuan di muka bumi.
Upaya yang diperjuangkan Kartini tersebut sedikit banyak mempengaruhi kaum perempuan di Tanah Air. Tentunya hasil ini tak lepas dari semangat kartini yang dituangkan kepada perempuan Indonesia untuk bisa sejajar dan menjadi mitra bagi kaum laki-laki. Kartini semasa hidupnya mampu memberikan arti dan semangat tersendiri dalam perjuangan kaum perempuan untuk meraih persamaan. Melalui hobinya menulis dan membaca serta mencari informasi atau tukar pikiran dengan rekan-rekannya di Belanda, beliau juga memberikan spirit bagi tokoh-tokoh perempuan di Indonesia. Sayangnya, kebebasan dan kebahagiaan yang dirasakan Kartini tidak berlangsung lama. Setelah anak pertamanya dan sekaligus terakhirya, R.M. Soesalit, lahir pada 13 September 1904, beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun.beliau dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang. Kini hanya tinggal semangat dan pemikirannya saja yang bisa kita rasakan. Namun, berkat kegigihan perjuangan Raden Ajeng Kartini, kemudian didirikan sekolah wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan selanjutnya di Surabaya, Yogyakarta, Malang Madiun, Cirebon, dan daerah-daerah lainnnya. Nama sekolah tersebut adalah “ Sekolah Kartini ”. yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh politik Etis.
Dua bulan setelah berlangsungnya sumpah pemuda pada Oktober 1928, di akhir Desember berbagai organisasi pergerakan perempuan dicoba dikumpulkan. Atas prakarsa Nyonya Sukonto, Nyonya Suwardi (Istri Ki Hadjar Dewantara), dan Nyonya Suyatin (kemudian dikenal sebagai Nyonya S. Kartowiyono) dilangsungkan kongres perempuan Indonesia I di Yogyakarta. Peristiwa ini agaknya merupakan kejadian terpenting dalam sejarah pergerakankaum ibu kita sehingga Ki Hadjar Dewantara menyebutnya sebagai “tonggak sejarah pergerakan perempuan Indonesia”. Waktu itu sudah tercatat tak kurang dari 31 perkumpulan. Dalam berbagai diskusi selama kongres dibahas kedudukan perempuan dalam rumah tangga dan masalah pendidikan. Keputusan terpenting kongres itu antara lain lahirnya organisasi baru bernama Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) sebagai wadah. Kongres juga mengirim usul kepada pemerintah Hindia Belanda agar umlah sekolah (khusus) perempuan di tambah dan agar setiap upacara pernikahan kepada pasangan pengantin diberi penjelasan makna taklik talak. Dalam kongres di Jakarta setahun kemudian, PPPI berubah menjadi Perserikatan Perkumpulan Isteri Indonesia (PPII).
Tema pokok perjuangan PPII agaknya masih berpusat pada nasib kaum perempuan. Bahkan setahun setelah kongres di Jakarta, organisasi ini membentuk Badan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak-anak (BPPPA), diketuai Nyonya Sukemi. Sasarannya antara lain memerangi apa yang disebut cina mindring, yang meminjamkan uang kepada para petani dengan bunga tinggi. Dikatakan, kerapkali anak gadis petani dijadikan pembayar utang itu. PPII juga pernah mengadakan pertemuan dengan kaum ibu di Lasem (Jawa Tengah) untuk memberi penerangan terhadap perempuan buruh di pabrik-pabrik batik. Sayang, sejak kongres 1935 di Jakarta keutuhan tubuh PPII mulai goyah. Karena dalam kongres itu dibicarakan, untuk pertama kali persoalan monogami dan poligami yang mendapat tantangan dari beberapa organisasi anggota secara prinsipal.
Selama masa pendudukan Jepang, organisasi-organisasi perempuan tak banyak berkutik. Selain banyak anggota yang harus menyembunyikan diri dari serdadu Jepang yang berangasan, juga karena penguasa Dai Nippon hanya mengakui satu organisasi perempuan yang dibentuknya, yaitu Fujinkai. Di saat-saat gawat sehabis Proklamasi, Presiden Soekarno yang banyak minat pada pergerakan perempuan memanfaatkan tokoh-tokoh maupun organisasi perempuan untuk turut memperkuat barisan perjuangan menghadapi ancaman Belanda. Nyonya Suwarni Pringgodigdo secara khusus diberi tugas oleh Bung Karno memimpin gerakan perempuan Indonesia yang lumpuh selama pendudukan Jepang. Maka di Jakarta pun lahir WANI (Wanita Negara Indonesia) di beberapa daerah.
Pada 17 Desember 1945 dilangsungkan kongres wanita Indonesia di Klaten. Inilah pertemuan antar organisasi kaum ibu yang pertama sejak Indonesia merdeka. Organisasi yang ada sejak Aisyiah, Wanita Taman Siswa, Perwani, Wanita Katholik, dan lain-lain, hadir. Usaha melebur organisasi-organisasi itu menjadi satu badan tunggal tak berhasil. Hanya Perwani dan WANI yang bersedia dilebur menjadi satu organisasi nasional bernama Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia) dibawah pimpinan Maria Ulfah dan Nyonya S.Kartowiyono. Namun dalam kongres di Solo 1946, berhasil dibentuk federasi bernama Kongres Wanita Indonesia (KOWANI). Dalam KOWANI ber-federasi misalnya Perwari, Aisyiah, PPII, Muslimat NU, Persatuan Wanita Kristen Indonesia, Wanita Katholik, Persit, Bayangkari, Pertiwi, Jarasenastri, Dian Ekawati, Wanita Marhaen, dan sebagainya. Ketika berlangsung pertemuan besar perempuan Indonesia pada akhir Agustus hingga awal September 1949 di Yogyakarta. Kowani telah mempunyai 82 organisasi yang boleh dikatakan berasal dari seluruh penjuru Nusantara. Dalam kongres ini juga di bentuk Badan Permusyawaratan Wanita Indonesia yang berkantor pusat di Jakarta.