Zaman modern ini kita bisa melihat benda peninggalan Kasepuhan Cirebon yang diletakkan di musuem Kasepuhan Cirebon. Museum ini berada di dalam lingkungan Keraton tepatnya sebelah barat Taman Bunderan Dewan Daru. Museum ini pernah dipugar oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Dinas Purbakala pada tahun 1974 – 1975, dan bentuknya dirubah menjadi bentuk huruf E tapi tembok tengahnya (yang atas pilarnya ada memolo bunga teratai kudup) masih asli.
Pintu museum yang tengah khusus untuk masuk orang yang berkepentingan saja, untuk pengunjung wisata masuk dari pintu sebelah selatan dan keluar dari pintu sebelah utara. Museum ini menyimpan barang-barang antik yang bersejarah, koleksi benda-benda peninggalan Kasepuhan Cirebon yang berasal dari dalam dan luar negeri, dengan urutan-urutan sebagai berikut :
Benda Peninggalan Kasepuhan Cirebon
- Gamelan degung persembahan dari Ki Gede Kawungcaang Banten tahun 1426 Masehi, degung ini duplikat dari Degung Pusaka Pajajaran, hubungannya Dewi Kawunganten binti Ki Gede Kawungcaang dinikah oleh Sunan Gunung Jati.
- Bende (bel) bergawang, dulu sebagai tanda pembukaan pelantikan bertahtanya Syekh Syarif Hidayatullah, diangkat Sultan Auliya Negara Cirebon, oleh Dewan Waliyullah 9 (Sembilan), dan menguasai daerah Indramayu, Kuningan, dan Majalengka pada tahun 1495 Masehi.
- Seperangkat gamelan laras slendro yang dinamai Sike Tuyung dan wayang purwanya tahun 1748 Masehi, peninggalan Sultan ke IV.
- Gamelan Sekaten persembahan Sultan Trenggono Demak ke III, karena Ratu Mas Nyawa Demak menikah dengan Pangeran Bratakalana tahun 1495 Masehi, zaman Waliyullah 9 (sembilan), gamelan sekaten digunakan sebagai untuk alat propaganda untuk memikat orang-orang Hindu diajak masuk Islam.
- Almari Vitrin I, berisi Pagoda Kayu dan kandaga permas/kaca rias, sebagai benda peninggalan Panembahan ke I Kasepuhan Cirebon.
- Vitrin II, berisi alat upacara raja, dua buah manggaran, dua buah nagan, dua buah jantungan logam perak. Sekarang digunakan untuk upacara grebeg Maulud, uang kepeng, yang dibentuk sangat mini yang badannya membelit jadi satu dinamai Naga Tunggul Wuwung, kepercayaan dulu sebagai tumbal (mascot) pengasuh Dewi Sri Pohaci (padi) dan perhiasan penganten sebuah standar lilin kristal dari prasmen tahun 1738 Masehi, gelas minum terbaik dari VOC, tahun 1745 Masehi, Kerang Bundet dari laut Banda Naira, dan lain-lain.
- Vitrin III, berisi baju logam (harnas) dari Portugis tahun 1527 Masehi.
- Vitrin IV, berisi kujang/kudi, warisan dari Pajajaran semenjak Cakrabuana. Kemudian diberikan kepada Sunan Gunung jati dan seterusnya.
- Vitrin V, berisi bedil berlidi (penyocok) mesiu peluru asal Mesir, bedil Dobelloop dan pedang terbaik dari Portugal tahun 1527 Masehi.
- Vitrin VI, berisi perunggu/genta kerajinan China, labu kering/buah brenuk sebagai kendi, tempurung kelapa janggi yang kembar pendapatan Pangeran Cakrabuwana yang ditemukan mengampul di laut Adden tahun 1390 Masehi, dimana pohonnya tidak dapat diketahui secara jelas, dan lain-lain.
- Vitrin VII, berisi barang keramik dari Cina tahun 1424 Masehi, senjata/keris-keris persembahan dari masyarakat.
- Vitrin VIII, berisi pagoda Craken jamu/mangkok besar, kendi keramik dari Monggolia dalam Dinasti Ming yang dibawa oleh Putri Ong Tien dikala menemui Sunan Gunung Jati di Pulau Jawa tahun 1424 Masehi, dan sebagainya.
- Vitrin IX, berisi satu mangkok besar, dua mangkok kecil keramik Cina, tamabahan golok, keris dari penyerahan orang-orang.
- Vitrin X, Berisi 38 buah mata tombak dan keris.
- Vitrin XI, berisi 34 mata tombak dan keris.
- Vitrin XII, berisi 84 buah bayonet (sangkar) bekas Kumpeni Belanda, dan 37 buah mata tombak, 48 dwi sula, 37 tri sula, 40 catur sula, itu karya Sultan sepuh ke V. Memandainya di Kampung Matangaji tahun 1776 Masehi.
Baca juga:
Membelok ke sebelah timur terdapat meja Vitrin I, berisi busana putra-putri dari Sulta ke X tahun 1800 Masehi, sedangkan meja Vitrin II, berisi mata tombak yang tatrap emas, keris sekin karya Empu Negara Dinasti Sunan Gunung Jati, mata tombak yang besar permas khusus untuk Ki Bergawa Kuat, sama halnya dengan Samson/Oelices/Hercules.
Di ruang pintu tengah terdapat dua buah meriam sinaga dari Monggolia dan dua meriam dari Kalingga Hindia yang dibawa Patih Keling, yang di Islamkan oleh sunan Gunung Jati, pada tahun 1423 Masehi, Patih Keling bersama anak kapalnya mulai mengabdi pada Sunan Gunung Jati, bahkan sampai sekarang Makam tersebut dijaga oleh keturunan Patih Keling.
Sebelah barat Vitrin V, pada lantai terdapat beberapa meriam dari Portugis yang monopoli dagang pada Pangeran Jayakarta, sewaktu menduduki daerah sunda Kelapa, lalu diserang oleh Tubagus Paseh Fatahhillah (menantu Sunan Gunung Jati) dengan bantuan sisa-sisa laskar Pajang. Portugis mundur ke Sumatera terus ke Malaka, pada tahun 1527 Masehi.
Beberapa alat kesenian debus besar dan kecil pemberian dari Banten ke I tahun 1552 Masehi kepada Panembahan ke I Cirebon. Di bawahnya pada rak (standar) ada bola batu disebut bandil, untuk lemparan dikala perang. Di sudut sebelah barat ada satu buah meja dan kursi hitam, seni Eropa, hasil pembelian barang dibeli oleh pihak Keraton Kasepuhan tahun 1845 Masehi.
Vigura Kaligrafi gambar ganeca berhuruf Arab tahun 1720 Masehi, kaligrafi berkembang awal abad XVIII dan sketsel lukisan Ganeca naik Gajah, seni rupa Cirebon ciptaan Panembahan Girilaya ke II (tahun 1582 Masehi, dan sketsel lukisan padasan berbarang pohon motif cina persemabahn Kapten cina Pekalongan (Tan Tjoenglai) yang ahli bahasa Belanda/Inggris/Taktje/Jawa/Sunda. Ia suka ilmu kejawen, dan masuk Islam, kemudian mengabdi kepada Sultan Sepuh ke I, ia dijadikan Tolk dan diangkat menjadi demang, kemudian naik menjadi Bupati dengan Gelar Tumenggung Wiracula tahun 1676 – 1697 Masehi.
Sangkar bambu yang berdampingan dengan tangga kecil lima undag yang bersangkar pada kursi, dipakai untuk alat tedak siten atau upacara anak berumur 7 bulan mulai turun ke tanah pentasannya. Peralatan itu merupakan benda peninggalan Kasepuhan Cirebon dari Sultan Sepuh ke X tahun 1899 Masehi. Di dinding tembok sebelah timur terdapat lukisan pigura kayu, makhluk Prabangsa dua berhadapan wujud badannya kombinasi ciptaan Panembahan pakungwatu ke I. Dikala Ia meliahat awan bergumpalan putih di langit menyerupai makhluk ajaib, lalu digoreskan pada tanah dan teringat pada awan pikirannya, selanjutnya dipigurakan.
Arah sebelah kanannya berada pigura kayu berukir orang purba (awal), seni rupa daerah mantingan terdapat dari pajang sewaktu Panembahan pakungwati ke I bersahabat dengan Sultan Pajang, begitulah maka ia dapat menikah dengan Ratu Mas gulampok Angroros Pajang, kira-kira tahun 1510 Masehi.
Boneka kayu maha raja, berdiri pada standarnya dinamai Krisna Murti, krisna adalah Wisnu, sedangkan Murti adalah kuasa, berarti Dewa Wisnu dilahirkan di dunia untuk menghalangi kemurkaan manusia, jin, hewan dan satu boneka kayu kerajinan dari Bali berstandar, koleksi Sultan Sepuh ke XI tahu 1925 Masehi. Juga terdapat beberapa peti kayu motif Cina, peti tatrap giwang (parol) yang dahulunya digunakan sebagai tempat pakaian dan lain-lain.
Baca juga:
Museum Kereta Singa Barong Kasepuhan Cirebon
Di Museum ini untuk menyimpan Kereta Singa Barong. Nama Singa Barong mengambil dari bahasa Cirebon yaitu “sing ngarani bareng-bareng”, artinya yang memberi nama bersama-sama. Kereta Singa Barong ini dibuat pada tahun 1549 atas prakarsa Panembahan Pakungwati I mengambil pola mahluk prabangsa. Bahan yang dipakai untuk membuat kereta yaitu dari kayu laban. Arsiteknya Panembahan Losari, Werk Bas Dalem Gebang Sepuh, dan pemahatnya Ki Nataguna dari Kaliwulu.
Kereta Singa Barong perwujudan dari tiga binatang menjadi satu. Satu, Belalai Gajah, melambangkan persahabatan dengan India yang beragama Hindu. Dua, Kepala Naga melambangkan persahabatan dengan Cina yang beragama Budha. Tiga, sayap dan badan mengambil dari Buroq melambangkan persahabatan dengan mesir yang beragama Islam. Dari ketiga kebudayaan menjadi satu (Hindu, Budha, Islam) digambarkan dengan Tri Sula di belalai “Tri” tiga “Sula’” tajam, yang dimaksud Cipta, Rasa, Karsa, artinya “Tajam alam pikiran manusia”.
Kereta Singa Barong ini dahulunya dipergunakan untuk Upacara Kirab keliling kota Cirebon, tiap tanggal 1 Shura/Muharam dengan ditarik oleh empat ekor kerbau bule. Namun sejak tahun 1942 Kereta Singa Barong ini sudah tidak difungsikan lagi. Pada tahun 1996 dengan diprakasai oleh Pangeran Arif Natadiningrat, membuat duplikat Kereta Singa Barong. Pada tahun 1997, duplikat Kereta Singa Barong sudah selesai, dan difungsikan untuk Festival Keraton se-Nusantara.
Di Museum ini, selain Kereta singa Barong, ada beberapa koleksi lainnya di antaranya : dua buah Tandu Jempana dari Cina, persembahan dari Kapten Tan Tjoen Lay dan Kapten Tan Boen Wee, pada tahun 1676. Tandu Jempana ini digunakan untuk Permaisuri dan Putra Mahkota.
Tandu Garuda Mina dibuat pada tahun 1777 di Gempol Palimanan, Tandu Garuda Mina ini berbentuk kepalanya, kepala burung garuda, sedangkan ekornya berbentuk ekor ikan. Ini digambarkan burung garuda ada di atas sedangkan ikan ada di bawah, maksud burung garuda ada diatas ikan ada di bawah, ini mengandung falsafah yaitu, “agar jangan lupa kepada sesama yang ada di bawahnya, maksudnya kalau kehidupan sudah di atas, jangan lupa pada rakyat kecil atau fakir miskin. Tandu Garuda Mina ini fungsinya untuk mengarak anak yang mau dikhitan. Juga terdapat pedang dari Portugis dan Belanda, dua buah Meriam dari Mongolia tahun 1424, yang berbentuk naga.
Di belakang Kereta Singa Barong terdapat tombak-tombak panjang, dan setiap tombak diberi bendera kecil warna kuning, tombak ini disebut “Blandrang”. Dahulunya tombak ini di bawa oleh Prajurit Panyutran sebagai barisan kehormatan, juga terdapat Tunggul Gada/Tunggul Manik sebagai lambang penerangan, dan Payung Keropak sebagai lambang Pengayoman. Seperangkat Angklung Kuno persembahan dari masyarakat daerah Kuningan. Pada bulan Mulud senjata-senjata tersebut dikeluarkan, digunakan untuk melengkapi dalam Upacara Adat Muludan.
Mengunjungi Keraton Kasepuhan seakan-akan mengunjungi Kota Cirebon tempo dulu. Keberadaan Keraton Kasepuhan juga kian mengukuhkan bahwa di kota Cirebon pernah terjadi akulturasi. Akulturasi yang terjadi tidak saja antara kebudayaan Jawa dengan kebudayaan Sunda, tapi juga dengan berbagai kebudayaan di dunia, seperti Cina,India, Arab, dan Eropa. Hal inilah yang membentuk identitas dan tipikal masyarakat Cirebon dewasa ini, yang bukan Jawa dan bukan Sunda.
Kesan tersebut sudah terasa sedari awal memasuki lokasi keraton. Keberadaan dua patung macan putih di gerbangnya, selain melambangkan bahwa Kesultanan Cirebon merupakan penerus Kerajaan Padjajaran, juga memperlihatkan pengaruh agama Hindu sebagai agama resmi Kerajaan Padjajaran. Gerbangnya yang menyerupai pura di Bali, ukiran daun pintu gapuranya yang bergaya Eropa, pagar Siti Hingilnya dari keramik Cina, dan tembok yang mengelilingi keraton terbuat dari bata merah khas arsitektur Jawa, merupakan bukti lain terjadinya akulturasi.
Nuansa akulturasi kian kentara ketika memasuki ruang depannya yang berfungsi sebagai museum. Selain berisi berbagai pernak-pernik khas kerajaan Jawa pada umumnya, seperti kereta kencana singa barong, dua tandu kuno, dan berbagai jenis senjata pusaka berusia ratusan tahun, di museum ini pengunjung juga dapat melihat berbagai koleksi cinderamata berupa perhiasan dan senjata dari luar negeri, seperti senapan Mesir, meriam Mongol, dan zirah Portugis. Singgasana raja yang terbuat dari kayu sederhana dengan latar sembilan warna bendera yang melambangkan Wali Songo. Hal ini membuktikan bahwa Kesultanan Cirebon juga terpengaruh oleh budaya Jawa dan agama Islam.
Baca juga: