Etika bisnis dalam perspektif ajaran islam dalam perkembangannya di zaman modern ini, merupakan sebuah penemuan dari ajaran Islam sebagai suatu sistem ekonomi yang mampu memberikan daya tawar positif, dengan menghadirkan nilai-nilai etika dan moral yang lengkap serta mengajarkan semua dimensi kehidupan.
Keunikan pendekatan Islam terletak pada sistem nilai yang salah satunya mewarnai tingkah laku ekonomi masyarakat. Dalam Islam diajarkan nilai-nilai dasar ekonomi yang bersumber pada ajaran tauhid. Islam lebih dari sekadar nilai-nilai dasar etika ekonomi, seperti keseimbangan, kesatuan, tanggung jawab dan keadilan, tetapi juga memuat keseluruhan nilai-nilai yang fundamental serta norma-norma yang substansial agar dapat diterapkan dalam operasional lembaga ekonomi Islam di masyarakat.
Umer Chapra menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi Islam dibangun berdasarkan nilai-nilai etika dan moral serta mengacu pada tujuan syariat (maqashid al-syari’ah), yaitu memelihara iman (faith), hidup (life), nalar (intellect), keturunan (posterity), dan kekayaan (wealth).
Konsep ini menjelaskan bahwa sistem ekonomi hendaknya dibangun berawal dari suatu keyakinan (iman) dan berakhir dengan kekayaan (property). Pada gilirannya tidak akan muncul kesenjangan ekonomi atau perilaku ekonomi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat.
Basis utama sistem ekonomi syariah sesungguhnya terletak pada aspek kerangka dasarnya yang berlandaskan syariah, tetapi juga pada aspek tujuannya yaitu mewujudkan suatu tatanan ekonomi masyarakat yang sejahtera berdasarkan keadilan, pemerataan, dan keseimbangan.
Atas dasar itu, maka pemberdayaaan ekonomi syariah di Indonesia hendaknya dilakukan dengan strategi yang ditujukan bagi perbaikan kehidupan dan ekonomi masyarakat. Tuntutan masyarakat dewasa ini terutama di lapisan masyarakat bawah adalah bagaimana memenuhi kebutuhan hidup mereka yang paling mendasar.
Sistem ekonomi Islam memiliki pijakan yang sangat tegas bila dibandingkan dengan sistem ekonomi liberal dan sosialis yang saat ini mendominasi sistem perekonomian dunia. Sistem ekonomi liberal lebih menghendaki suatu bentuk kebebasan yang tidak terbatas bagi individu dalam memperoleh keuntungan (keadilan distributif), dan sosialisme menekankan aspek pemerataan ekonomi (keadilan yang merata), menenentang perbedaan kelas sosial dan menganut asas kolektivitas.
Adapun sistem ekonomi syariah mengutamakan aspek hukum dan etika yakni adanya keharusan menerapkan prinsip-prinsip hukum dan etika bisnis yang Islami, antara lain prinsip ibadah (al-tauhid), persamaan (al-musawat), kebebasan (al-hurriyat), keadilan (al-‘adl), tolong-menolong (al-ta’awun), dan toleransi (al-tasamuh).
Prinsip-prinsip tersebut merupakan pijakan dasar dalam sistem ekonomi syariah, sedangkan etika bisnis mengatur aspek hukum kepemilikan, pengelolaan dan pendistribusian harta, yakni menolak monopoli, eksploitasi dan diskriminasi serta menuntut keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Pengertian Etika Bisnis Dalam Islam
Salah satu kajian penting dalam Islam adalah persoalan etika bisnis. Pengertian etika adalah a code or set of principles which people live (kaidah atau seperangkat prinsip yang mengatur hidup manusia).
Etika adalah bagian dari filsafat yang membahas secara rasional dan kritis tentang nilai, norma, atau moralitas. Dengan demikian, moral berbeda dengan etika. Norma adalah suatu pranata dan nilai mengenai baik dan buruk, sedangkan etika adalah refleksi kritis dan penjelasan rasional mengapa sesuatu itu baik dan buruk.
Menipu orang lain adalah buruk. Ini berada pada tataran moral, sedangkan kajian kritis dan rasional mengapa menipu itu buruk apa alasan pikirannya merupakan lapangan etika. Salah satu kajian etika yang amat populer memasuki abad 21 di milenium ketiga ini adalah etika bisnis.
Dasar-Dasar Etika Ekonomi Islam
Etika ekonomi Islam, sebagaimana dirumuskan oleh para ahli ekonomi Islam adalah suatu ilmu yang mempelajari aspek-aspek kemaslahatan dan kemafsadatan dalam kegiatan ekonomi dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh mana dapat diketahui menurut akal pikiran (rasio) dan bimbingan wahyu (nash).
Etika ekonomi dipandang sama dengan akhlak karena keduanya sama-sama membahas tentang kebaikan dan keburukan pada tingkah laku manusia.
Tujuan etika Islam menurut kerangka berpikir filsafat adalah memperoleh suatu kesamaan ide bagi seluruh manusia di setiap waktu dan tempat tentang ukuran tingkah laku baik dan buruk sejauhmana dapat dicapai dan diketahui menurut akal pikiran manusia (An-nabhani, 1996: 52).
Namun demikian, untuk mencapai tujuan tersebut, etika ekonomi Islam mengalami kesulitan karena pandangan masing-masing golongan di dunia ini berbeda-beda perihal standar normatif baik dan buruk. Masing-masing mempunyai ukuran dan kriteria yang berbeda-beda pula. Sebagai cabang dari filsafat, ajaran etika bertitik tolak dari akal pikiran dan tidak dari ajaran agama.
Di antara nilai-nilai etika ekonomi Islam yang terangkum dalam ajarannya adalah terdapat dua prinsip pokok, yaitu sebagai berikut.
Pertama, adalah tauhid. Prinsip tauhid ini mengajarkan manusia tentang bagaimana mengakui keesaan Allaha sehingga terdapat suatu konsekuensi bahwa keyakinan terhadap segala sesuatu hendaknya berawal dan berakhir hanya kepada Allah Swt. Keyakinan yang demikian dapat mengantar seorang muslim untuk menyatakan bahwa “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku adalah semata-mata demi Allah, Tuhan seru sekalian alam”. Prinsip ini kemudian menghasilkan kesatuan-kesatuan sinergis dan saling terkait dalam kerangka tauhid. Tauhid diumpamakan seperti beredarnya planet-planet dalam tata surya yang mengelilingi matahari. Kesatuan-kesatuan dalam ajaran tauhid hendaknya berimplikasi kepada kesatuan manusia dengan Tuhan dan kesatuan manusia dengan manusia serta kesatuan manusia dengan alam sekitarnya.
Kedua, prinsip keseimbangan mengajarkan manusia tentang bagaimana meyakini segala sesuatu yang diciptakan Allah dalam keadaan seimbang dan serasi. Hal ini dapat dipahami dari Alquran yang telah menjelaskan bahwa “Engkau tidak menemukan sedikit pun ketidakseimbangan dalam ciptaan Yang Maha Pengasih. Ulang-ulanglah mengamati apakah engkau melihat sedikit ketimpangan” (QS 67: 3). Prinsip ini menuntut manusia bukan saja hidup seimbang, serasi, dan selaras dengan dirinya sendiri, tetapi juga menuntun manusia untuk mengimplementasikan ketiga aspek tersebut dalam kehidupan.
Dasar prinsip tauhid mengantarkan manusia dalam kegiatan ekonomi untuk meyakini bahwa harta benda yang berada dalam genggamannya adalah milik Allah Swt. Keberhasilan para pengusaha bukan hanya disebabkan oleh hasil usahanya sendiri, tetapi terdapat partsisipasi orang lain.
Tauhid yang akan menghasilkan keyakinan pada manusia bagi kesatuan dunia dan akhirat. Tauhid dapat pula mengantarkan seorang pengusaha untuk tidak mengejar keuntungan materi semata-mata, tetapi juga mendapat keberkahan dan keuntungan yang lebih kekal.
Oleh karena itu, seorang pengusaha dipandu untuk menghindari segala bentuk eksploitasi terhadap sesama manusia. Dari sini dapat dimengerti mengapa Islam melarang segala praktek riba dan pencurian, tetapi juga penipuan yang terselubung. Bahkan, Islam melarang kegiatan bisnis hingga pada menawarkan barang pada di saat konsumen menerima tawaran yang sama dari orang lain.
Etika Bisnis Islam: Al Qur’an Sebagai Pedoman
Mr. Amound Bork, seorang warga negara Inggris yang sangat dikenal berkata, “Undang-undang Muhammad adalah undang-undang yang mengatur seluruh manusia; dari mulai para rajanya hingga rakyatnya yang paling hina. Ia adalah undang-undang yang sangat sempurna, yang mencakup seluruh hukum-hukum pidana dan perdata, serta syariat-syariat yang menerangi, yang tidak pernah ada duanya di dunia.”
Missou Jouti juga berkata, “Setiap kali menelaah Alquran, kami senantiasa merasa takut dan kawatir, akan tetapi kami segera dapat merasakan adanya keindahan yang pada akhirnya membawa kami kepada pengakuan akan kebesarannya. Dia antara kitab-kitab suci, ia adalah contoh yang sangat tinggi dan mulia. Pengaruhnya akan selalu hidup di jiwa-jiwa manusia pada setiap generasi dan setiap masa”.
Demikian pula Missou David Bord berkata, “Alquran adalah undang-undang sosial, undang-undang kependudukan, undang-undang perniagaan, undang-undang peperangan, dan undang-undang pidana dan perdata. Namun di atas semua itu, ia merupakan undang-undang langit yang agung.” Missou Wiliam Moyer juga berkata, “Seluruh hujjah-hujjah Alquran adalah tabiat yang menunjukkan pertolongan Allah kepada manusia”.
Etika Bisnis Oleh Rasulullah Saw
Sumber rujukan etika dalam bisnis adalah etika yang bersumber dari tokoh teladan agung manusia di dunia, yaitu Rasulullah SAW. Beliau telah memiliki banyak panduan etika untuk praktek bisnis kita, yaitu sebagai berikut.
Pertama adalah kejujuran. Kejujuran merupakan syarat fundamental dalam kegiatan bisnis. Rasulullah sangat intens menganjurkan kejujuran dalam aktivitas bisnis. Dalam tataran ini, beliau bersabda “Tidak dibenarkan seorang muslim menjual satu jualan yang mempunyai aib, kecuali ia menjelaskan aibnya,” (H.R. Al-Quzwani). “Siapa yang menipu kami, maka dia bukan kelompok kami,” (H.R. Muslim). Rasulullah sendiri selalu bersikap jujur dalam berbisnis. Beliau melarang para pedagang meletakkan barang busuk di sebelah bawah dan barang baru di bagian atas.
Kedua, menolong atau memberi manfaat kepada orang lain, kesadaran tentang signifikansi sosial kegiatan bisnis. Pelaku bisnis menurut Islam, tidak hanya sekedar mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya, sebagaimana yang diajarkan Bapak Ekonomi Kapitalis, Adam Smith, tetapi juga berorientasi kepada sikap ta’awun (menolong orang lain) sebagai implikasi sosial kegiatan bisnis. Tegasnya, berbisnis, bukan mencari untung material semata, tetapi didasari kesadaran memberi kemudahan bagi orang lain dengan menjual barang.
Ketiga, tidak boleh menipu, takaran, ukuran, dan timbangan yang benar. Dalam perdagangan, timbangan yang benar dan tepat harus benar-benar diutamakan. Firman Allah: “Celakalah bagi orang yang curang, yaitu orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi” (QS 83:112).
Keempat, tidak boleh menjelekkan bisnis orang lain, agar orang membeli kepadanya. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Janganlah seseorang di antara kalian menjual dengan maksud untuk menjelekkan apa yang dijual oleh orang lain,” (H.R. Muttafaq ‘alaih).
Kelima, tidak menimbun barang. Ihtikar ialah menimbun barang (menumpuk dan menyimpan barang dalam masa tertentu, dengan tujuan agar harganya suatu saat menja di naik dan keuntungan besar pun diperoleh). Rasulullah melarang keras perilaku bisnis semacam itu.
Keenam, tidak melakukan monopoli. Salah satu keburukan sistem ekonomi kapitalis ialah melegitimasi monopoli dan oligopoli. Contoh yang sederhana adalah eksploitasi (penguasaan) individu tertentu atas hak milik sosial, seperti air, udara, dan tanah serta kandungan isinya seperti barang tambang dan mineral. Individu tersebut mengeruk keuntungan secara pribadi, tanpa memberi kesempatan kepada orang lain. Hal ini dilarang dalam Islam.
Ketujuh, komoditi bisnis yang dijual adalah barang yang suci dan halal, bukan barang yang haram, seperti babi, anjing, minuman keras, ekstasi, dan sebagainya. Nabi Muhammad saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan bisnis miras, bangkai, babi dan patung-patung,” (H.R. Jabir).
Kedelapan, bisnis yang dilaksanakan bersih dari unsur riba. Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, tinggalkanlah sisa-sisa riba jika kamu beriman,” (QS. al- Baqarah:: 278). Pelaku dan pemakan riba dinilai Allah sebagai orang yang kesetanan (QS. 2: 275). Oleh karena itu, Allah dan Rasul-Nya mengumumkan perang terhadap riba.
Kesembilan, bisnis dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan. Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan bisnis yang berlaku dengan suka-sama suka di antara kamu,” (QS. 4: 29).
Kesepuluh, membayar upah sebelum kering keringat karyawan. Nabi Muhammad saw. bersabda, “Berikanlah upah kepada karyawan, sebelum kering keringatnya.” Hadis ini mengindikasikan bahwa pembayaran upah tidak boleh ditunda-tunda. Pembayaran upah harus sesuai dengan kerja yang dilakukan.
Berkenaan dengan hal itu, Islam sebagai ajaran yang universal memberikan pedoman tentang kegiatan ekonomi berupa prinsip-prinsip dan asas-asas muamalah. Juhaya S. Praja (2000) menyebutkan terdapat beberapa prinsip hukum ekonomi Islam antara lain sebagai berikut.
- Prinsip la yakun dawlatan bayn al-agniya, yakni prinsip hokum ekonomi yang menghendaki pemerataan dalam pendistribusian harta kekayaan.
- Prinsip ’antaradin, yakni pemindahan hak kepemilikan atas harta yang dilakukan secara sukarela.
- Prinsip tabadul al-manafi’, yakni pemindahan hak atas harta yang didasarkan kepasa azas manfaat.
- Prinsip takaful al-ijtima’, yakni pemindahan hak atas harta yang didasarkan kepada kepentingan solidaritas sosial.
- Prinsip haq al-lah wa hal al-adami, yakni hak pengelolaan harta kekayaan yang didasarkan kepada kepentingan milik bersama, di mana individu maupun kelompok dapat saling berbagi keuntungan serta diatur dalam suatu mekanisme ketatanegaraan di bidang kebijakan ekonomi.
Kebangkitan Etika Bisnis Berdasarkan Islam
Sebenarnya, di Barat sendiri, pemikiran yang mengemukakan bahwa ilmu ekonomi bersifat netral etika seperti di atas, akhir-akhir ini telah digugat oleh sebagian ekonom Barat sendiri. Pandangan bahwa ilmu ekonomi bebas nilai, telah tertolak.
Dalam ilmu ekonomi harus melekat nuansa normatif dan tidak netral terhadap nilai-nilai atau etika sosial. Ilmu ekonomi harus mengandung penentuan tujuan dan metode untuk mencapai tujuan. Pemikiran ini banyak dilontarkan oleh Samuel Weston, 1994, yang merangkum pemikiran Boulding (1970), Mc Kenzie (1981), dan Myrdal (1984).
Pada tahun 1990-an, Paul Ormerof, seorang ekonom kritis Inggris menerbitkan bukunya yang amat menghebohkan “The Death of Economics, Ilmu Ekonomi sudah menemui ajalnya. Tidak sedikit pula pakar ekonomi millenium telah menyadari makin tipisnya kesadaran moral dalam kehidupan ekonomi dan bisnis modern.
Amitas Etzioni menghasilkan karya monumental dan menjadi best seller; “The Moral dimension: Toward a New Economics” yang dirilis pada tahun 1988. Berbagai buku etika bisnis dan dimensi moral dalam ilmu ekonomi semakin banyak bermunculnan.
Jadi, menjelang millenium ketiga dan memasuki abad 21, konsep etika mulai memasuki wacana bisnis. Wacana bisnis bukan hanya dipengaruhi oleh situasi ekonomis, melainkan oleh perubahan-perubahan sosial, ekonomi, politik, teknologi, serta pergeseran-pergeseran sikap dan cara pandang para pelaku bisnis atau ahli ekonomi.
Keburukan-keburukan bisnis mulai dibongkar. Mulai dari perkembangan pasar global, resesi yang mengakibatkan pemangkasan anggaran PHK, enviromentalisme, tuntutan para karyawan yang makin melampaui sekedar kepuasan material, aktivisme para pemegang saham dalam perusahaan-perusahaan go public atau transnasional, kaidah- kaidah baru di bidang manajemen, seperti Total Quality Management, rekayasa ulang dan benchmarking yang menghasilkan pemipihan hirarki dan empowerment, semuanya telah meningkatkan kesadaran orang tentang keniscayaan etika dalam aktivitas bisnis.
Contoh kecil kesadaran itu terlihat pada sikap para pakar ekonomi kapitalis Barat yang telah merasakan implikasi keburukan strategi spekulasi yang amat riskan mengusulkan untuk membuat kebijakan dalam memerangi spekulasi.
Prof. Lerner dalam buku “Economics of Control”, mengemukakan bahwa kejahatan spekulasi yang agresif, paling baik bila dicegah dengan kontraspekulasi. Mereka tampaknya belum berhasil menyelesaikan krisis tersebut, meskipun mereka menanganinya dengan serius.
Mungkin karena itulah Prof. Taussiq berusaha memecahkan masalah ini dengan memperbaiki moral rakyat. Ia dengan lantang berkomentar, “Obat paling mujarab bagi kerusakan dunia bisnis adalah norma moral yang baik untuk semua industri”. Pandangan- pandangan di atas menunjukkan bahwa di Barat telah muncul kesadaran baru tentang pentingnya dimensi etika memasuki lapangan bisnis.
Penutup
Demikianlah penjelasan singkat tentang ekonomi syariah yang mendasarkan sistem ekonominya kepada tujuan syariah (maqashid syari’ah) dan prinsip-prinsip etika yang diajarkan Islam untuk diterapkan dalam praktek bisnis dan kewirausahaan yang memiliki dimensi keberkahan, yaitu memperoleh keuntungan, baik di dunia maupun di akhirat.
Etika merupakan suatu pedoman moral bagi semua tindakan manusia dan menjadi sumber pemikiran baik buruk tindakan itu. Agama merupakan kepercayaan akan sesuatu kekuatan supranatural yang mengatur dan mengendalikan kehidupan manusia. Etika Islam mengatur segala aspek termasuk ekonomi bahwa mesti ada kesepadanan untuk membedakan antara kebaikan dan keburukan.
Praktek ekonomi, bisnis, wirausaha, dan lainnya yang bertujuan meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, diperintahkan dan dipandu baik oleh aturan- aturan ekonomi yang bersifat rasional maupun dituntun oleh nilai-nilai agama.