Pembentukan Piagam Madinah masa Nabi Muhammad SAW merupakan momen historis menyangkut implementasi kerangka teologi, serta gagasan kerukunan keagamaan Islam terhadap penganut agama-agama lain, dalam konteks piagam ini khususnya Yahudi dan Nasrani. Piagam tersebut dikeluarkan pada tahun pertama hijrah Nabi ke Madinah yang saat itu masih bernama Yatsrib., bertepatan dengan 622 Masehi, dua tahun sebelum Perang Badar.
Heterogenitas masyarakat Madinah tidak hanya pada aspek sosial ekonomi, melainkan juga kesukuan dan agama. Fanatisme kesukuan dan kesenjangan sosial ekonomi yang tajam menjadi pemicu kuat terjadinya sebuah konflik. Kesamaan keyakinan atau agama biasanya menjadi pengikat dan pendorong bagi sekelompok masyarakat untuk bersatu.
Namun yang terjadi di Madinah lebih kompleks karena kaum Yahudi lebih mendominasi dalam tatanan kehidupan di Madinah di masa sebelum peristiwa hijrah. Perundingan belum cukup kuat dan efektif untuk mengantisipasi munculnya berbagai konflik. Sebab tidak menutup kemungkinan salah satu kelompok akan dengan mudah menghianati suatu kesepakatan yang tidak tertulis tersebut.
Faktor tersebutlah yang mendorong perlunya dibuat suatu dokumen perjanjian tertulis sebagai upaya bijaksana guna meredam konflik sosial agar tidak semakin meluas. Terlebih jika perjanjian tersebut dilengkapi dengan keterangan sanksi hukuman yang akan diterima apabila individu atau kelompok berusaha menghianati perjanjian.
-
Pengertian Piagam Madinah Bagi Umat Islam
Piagam Madinah merupakan dokumen perjanjian pertama di dunia yang di dalamnya memuat aturan-uturan humanistik yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Piagam Madinah sudah tersusun dan diakui jauh sebelum munculnya Magna Charta hingga Universal Declaration of Human Right. Piagam Madinah juga menampung adanya kebebasan yang berbeda dengan kebebasan yang terdapat dalam undang-undang lain yang berlaku saat ini.
Piagam Madinah yang disusun dan ditandatangani oleh Nabi Muhammad dan para khalifah sesudahnya, disaksikan oleh seluruh anggota perjanjian, berisi mekanisme bermuamalat, bertransaksi, bermitra usaha, berintegrasi, bergaul, dan bersepakat dengan pihak-pihak yang terlibat dalam satu negara yang memiliki berbagai kepentingan.
Piagam tersebut merupakan kesadaran yang terang dan langsung atas pengakuan keragaman keyakinan, pemikiran, kebangsaan, dan asal-usul etnis dalam Islam serta bukti kuat yang menunjukkan luasnya cakrawala nilai-nilai Islam dan kandungan kemanusiaannya, sebuah cakrawala yang tidak dibatasi waktu dan tempat. Dari sinilah, Piagam Madinah menjadi sangat penting.
Naskah Piagam Madinah dimulai dengan kalimat Hadza kitabun min Muhammad al-Nabi. Yang berarti bahwa naskah piagam tersebut berasal dari Nabi Muhammad Saw. Dari teks tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa, pada saat mengeluarkan piagam tersebut, Nabi sudah mempunyai posisi yang strategis di tengah-tengah masyarakat Madinah.
Mengenai keotentikan naskah Piagam Madinah yang berjumlah 47 pasal setelah pembukaan dapat dilihat dari aspek muatannya, bahasanya, dan tinjauan ilmu hadits. Dari segi muatan, sebagian ketetapannya menggambarkan komposisi atau peta sosiologis penduduk Madinah saat itu dan gambaran tersebut sesuai dengan informasi dari sumber lain.
-
Arti Penting Piagam Madinah Bagi Umat Muslim
Hijrah Rasulullah ke Madinah adalah suatu momentum bagi kecemerlangan Islam di saat-saat selanjutnya. Setelah Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah dan diterima penduduk Madinah, dan menjadi pemimpin penduduk kota itu. Rasulullah SAW segera meletakkan dasar-dasar kehidupan yang kokoh bagi pembentukan suatu masyarakat baru.
Inilah awal berdirinya pranata sosial politik dalam sejarah perkembangan Islam. Sebagai produk yang lahir dari rahim peradaban Islam, Piagam Madinah diakui sebagai bentuk perjanjian dan kesepakatan bersama bagi kepentingan membangun masyarakat Madinah yang plural, adil, dan berkeadaban.
Piagam Madinah merupakan surat perjanjian yang dibuat pada masa Rasulullah SAW bersama dengan orang-orang Islam dan pihak lain (Yahudi) yang tinggal di Yasrib (Madinah). Piagam tersebut memuat pokok-pokok pikiran yang dari sudut tinjauan modern dinilai mengagumkan.
Dalam konstitusi itulah untuk pertama kalinya dirumuskan ide-ide yang kini menjadi pandangan hidup modern, seperti kebebasan beragama, keberagaman, multikulturalism, humanism dan hak setiap kelompok untuk mengatur hidup sesuai dengan keyakinannya, kemerdekaan hubungan ekonomi, dan lain-lain. Selain itu juga ditegaskan adanya suatu kewajiban umum, yaitu partisipasi dalam usaha pertahanan bersama menghadapi musuh dari luar, dan menjunjung tinggi nilai-nilai humanis.
Piagam Madinah merupakan sebuah pencapaian besar dari seorang pemimpin umat sekaligus pemimpin politik. Piagam ini juga merupakan wujud dari teladan yang dicontohkan Nabi Muhammad baik dalam ruang privat maupun di ruang publik. Nabi juga senantiasa mengajak umat Islam agar mengikuti pedoman pesan-pesan universal yang terkandung dalam syariat Islam yang mana pesan-pesan tersebut dapat dijadikan sebagai common platform untuk membangun kebersamaan dan kesetaraan di antara berbagai kelompok.
-
Lima Pokok Kandungan Pesan Piagam Madinah
-
Kesetaraan Umat Manusia Piagam Madinah
Kata yang memuat makna penting yaitu satu umat (ummatan wahidah). Seluruh pihak yang terlibat dalam konsensus politik dan menyetujui lahirnya konstitusi Madinah disebut sebagai satu umat, tidak memandang latar belakang agama dan ras mereka. Hal tersebut merupakan komitmen Nabi yang kuat untuk memasuki era baru, yaitu era yang melindungi kelompok lain yang berbeda keyakinan.
Pesan yang menonjol dalam piagam tersebut yaitu kesetaraan. Hal itu tidak lain adalah sebagai bentuk komitmen Nabi untuk merangkul berbagai kelompok yang ingin berpartisipasi dalam misi Nabi dalam upaya membangun Madinah menjadi kota yang dapat menjunjung tinggi nilai-nilai kebhinekaan yang melindungi segenap hak-hak dan kewajiban warganya.
-
Kebebasan Beragama Pada Perjanjian Madinah
Piagam Madinah secara eksplisit juga menegaskan mengenai pentingnya kebebasan beragama. Secara khusus disebutkan dalam pasal 24 “wa inn al yahuda yunfiqun ma‟a al-mu‟minin, li al-yahudi dinuhum wa li al-muslimin dinuhum, mawalihim wa anfusuhum”. Dan orang-orang Yahudi dari Bani Auf adalah umat bersama orang-orang mukmin. Orang-orang Yahudi hendaklah berpegang teguh kepada agama mereka, sebagaimana orang-orang Muslim juga berpegang teguh pada agama mereka, termasuk juga diri mereka.
Kebebasan beragama, sebagaimana yang ada dalam Piagam Madinah, pada hakikatnya merupakan implementasi dari wahyu Al-Qur‟an yang secara eksplisit menjunjung tinggi kebebasan beragama. Seperti firman Allah Swt:
وَقُلِ ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّكُمۡۖ فَمَن شَآءَ فَلۡيُؤۡمِن وَمَن شَآءَ فَلۡيَكۡفُرۡۚ إِنَّآ أَعۡتَدۡنَا لِلظَّٰلِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمۡ سُرَادِقُهَاۚ وَإِن يَسۡتَغِيثُواْ يُغَاثُواْ بِمَآءٖ كَٱلۡمُهۡلِ يَشۡوِي ٱلۡوُجُوهَۚ بِئۡسَ ٱلشَّرَابُ وَسَآءَتۡ مُرۡتَفَقًا ٢٩
Artinya:“Dan katakanlah, bahwa kebenaran itu berasal dari Tuhan kalian. Barangsiapa di antara kalian berkehendak, maka kufurlah.” [QS. Al-Kahfi 18:29]
Dalam konstitusi Madinah, secara tegas dinyatakan hak-hak penganut agama Yahudi hidup berdampingan secara damai dengan kaum muslimin. Kaum Yahudi menerima konstitusi Madinah dengan sukarela. Praktik Rasulullah dalam memimpin Madinah ini berhubungan pula dengan ajaran-ajaran Al-Qur‟an mengenai kedudukan khusus mereka sebagai ahli al-kitab.
-
Perdamaian Seluruh Umat Manusia Melalui Piagam Madinah
Piagam Madinah juga menggaris-bawahi pentingnya perdamaian. Berbeda dengan perdamaian yang bersifat normatif, piagam ini secara tegas dan jelas memiliki komitmen untuk membangun perdamaian setidaknya dalam cakupan tertentu, yakni bagi kelompok-kelompok yang terlibat dalam perjanjian. Di dalam naskah Piagam Madinah disebutkan, “Barangsiapa keluar dan tinggal di Madinah, ia berhak mendapat jaminan keamanan, kecuali bagi siapa yang melakukan kezaliman dan kejahatan. Allah Swt akan senantiasa memberikan pahala bagi siapa saja yang melakukan kebajikan dan takwa.”
Naskah Piagam Madinah diakhiri dengan penjelasan tentang pentingnya memberikan jaminan keamanan kepada setiap orang yang terlibat dalam perjanjian. Perbedaan keyakinan bukanlah alasan untuk melakukan tindakan diskriminasi dan intimidasi, sebagaimana yang dilakukan oleh kalangan ekstrim belakangan ini. Perbedaan justru menjadi pengingat agar setiap Muslim tidak melakukan tindakan yang dapat merugikan orang lain.
-
Pluralisme dan Toleransi Perjanjian Madinah
alam Al-Qur’an, kesatuan manusia disebut dengan istilah Ummatan Wahidah yang artinya umat yang satu. Meskipun disebut demikian, bukan berarti tidak ada perbedaan dan perbenturan kepentingan. Perbedaan pendapat bahkan adanya kepentingan yang berbeda-beda merupakan realitas sosial kemasyarakatan yang justru seringkali dibutuhkan untuk mencapai kemajuan. Dalam hal perbedaan pendapat (ikhtilaf), Nabi Muhammad menyatakan hal itu sebagai rahmat.
Para da‟i Islam tidak dituntut untuk mengislamkan orang-orang yang beragama selain Islam. Mereka tidak berhak mengklaim bahwa selain orang Islam akan masuk neraka, karena kunci surga bukan di tangan manusia. Menurut yang dikatakan dalam Al-Qur‟an, para da‟i hanya bertugas memperkenalkan Islam kemudian memberikan kebebasan bagi mereka untuk menentukan pilihan mereka.
Seperti ayat berikut:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ عَلَيۡكُمۡ أَنفُسَكُمۡۖ لَا يَضُرُّكُم مَّن ضَلَّ إِذَا ٱهۡتَدَيۡتُمۡۚ إِلَى ٱللَّهِ مَرۡجِعُكُمۡ جَمِيعٗا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ ١٠٥
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, diri kalian adalah tanggungjawab kalian. Orang yang tersesat tidak akan membahayakan kalian ketika kalian mendapatkan petunjuk,” (QS Al-Maidah: 105). Hidayah hanya datang dari Allah, bukan seorang rasul. Hal-hal yang berkaitan dengan konversi agama tidak hanya menyangkut iman dan teori, akan tetapi juga menyangkut hubungan sosial dan konsekuensi-konsekuensi lainnya.
-
Perwujudan Pola Hubungan Antarumat Beragama
Pada pasal 20 dinyatakan bahwa orang-orang musyrik di Madinah tidak boleh melindungi harta dan jiwa orang-orang musyrik Quraisy. Penyebutan kata musyrik pada pasal ini mengandung pengakuan akan eksistensi dari penganut agama-agama lain yang menjadi agama terbesar yang dianut oleh masyarakat Madinah pada masa awal pemerintahan Nabi Muhammad di Madinah.
Jika agama menjunjung tinggi penyelamatan dan keselamatan manusia, maka seharusnya para pemeluk agama bekerja sama untuk menghadapi persoalan ini, yakni menjaga umat manusia dan lingkungannya dari kerusakan dan pengrusakan.