Dimulainya Awal Pembuatan dan Dinamika Rokok Kretek di Masa Lalu
Segala sesuatu pasti mempunyai sejarahnya masing-masing, tidak terkecuali rokok kretek. Keberhasilan perusahaan-perusahaan rokok raksasa yang ada, tidak didapat secara tiba-tiba, melainkan sejarah panjang dan perjalanan yang melelahkan harus dilalui. Sejarah perjalanan awal mula pembuatan rokok kretek di kota kudus merupakan satu diantara sejarah panjang rokok di Indonesia, dapat kita baca dan saksikan dalam museum kretek yang ada di Kudus. Kota Kudus dijuluki kota kretek karena tidak lepas dari faktor historis, yaitu tentang kelahiran rokok kretek yang dibuat oleh masyarakat Kudus asli.
Tidak semua orang tahu bahwa rokok kretek tercipta sebagai obat penyakit saluran pernafasan seperti sakit tenggorokan dan asma. Menurut kisah yang hidup dikalangan para pekerja pabrik rokok, riwayat kretek bermula dari penemuan H. Djamari pada kurun waktu sekitar tahun 1870-1880an. Awalnya, penduduk asli kudus ini merasa sakit pada bagian dada, lalu ia mengoleskan minyak cengkeh, dan akhirnya sakitnya reda. H. Djamari lantas bereksperimen menghaluskan cengkeh dan mencampurnya dengan tembakau untuk dilinting menjadi rokok. Kala itu melinting rokok sudah menjadi kebiasaan kaum pria. H. Djamari melakukan modifikasi dengan mencampur cengkeh. Setelah rutin menghisap rokok ciptaannya, H. Djamari merasa sakitnya hilang (Hasyim, 22:2009). Ia memberitahukan penemuannya ini kepada kerabat dekatnya. Berita ini menyebar cepat, sehingga permintaan rokok obat ini pun mengalir. H. Djamari melayani banyak permintaan rokok cengkeh. Lantaran ketika dihisap, cengkeh yang terbakar mengeluarkan bunyi kemeretek, maka rokok temuan H. Djamari ini dikenal dengan rokok kretek.
Awalnya rokok kretek dibungkus dengan klobot atau daun jagung kering. Dijual per ikat dimana setiap ikat terdiri dari 10, tanpa selubung kemasan sama sekali. Rokok kretek kian dikenal, namun tak begitu dengan penemunya. H. Djamari diketahui meninggal pada tahun 1890, hanya temuannya itu yang masih terus berkembang. Sepuluh tahun kemudian, penemuan H. Djamari menjadi dagangan memikat di tangan Nitisemito, perintis industri rokok di kota Kudus.
Bisnis rokok dimulai oleh Nitisemito antara tahun 1903-1905, dan pada tahun 1908 usahanya resmi terdaftar dengan merek Tjap Bal Tiga. Pada awalnya, Nitisemito mencoba mengusahakan rokok kretek secara kecil-kecilan yaitu dengan jalan melinting dan menjualnya sendiri. Pada tiap langganannya, Nitisemito tidak segan-segan meminta kritik dan saran terhadap rokok yang dijualnya. Cara tersebut dilakukan Nitisemito pada saat memulai usaha rokok. Cara yang dilakukan Nitisemito membuahkan hasil yang baik. Melalui cara tersebut, rokok buatan Nitisemito bertambah baik kualitasnya dan bertambah pula langganannya. Banyaknya pelanggan yang membeli rokok Nitisemito maka semakin berkembang pula usaha rokoknya. Melihat usaha rokoknya semakin berkembang, maka diberikan label pada pembungkusnya. Untuk rokoknya dipilih merk atau cap “Kodok Mangan Ulo, dalam bahasa Indonesia “Katak makan Ular” (Nusyirwan, 1980:6). Merk atau cap tersebut menimbulkan banyak kritikan dari para pelanggannya. Nitisemito kemudian mengganti cap atau merk tersebut dengan “BULATAN TIGA” serta dicantumkanya nama pengusahanya yaitu M. Nitisemito. Pemberian cap baru ini memberikan banyak penafsiran dari masyarakat seperti munculnya bermacam-macam nama yang diberikan oleh masyarakat, yaitu Cap Bunder Tiga, Cap Bola Tiga, Cap Bal Tiga, dan Cap Tiga Roda. Dari tafsiran yang ada nama yang paling terkenal adalah Cap Bal Tiga Nitisemito (Alex, 1980 : 21). Dapat dikatakan langkah Nitisemito itu menjadi tonggak tumbuhnya industri rokok kretek di Indonesia.
Pada awal mulanya seluruh perusahaan rokok di Kudus berada di tangan orang pribumi. Namun, setelah para pengusaha ini berhasil mencapai demikian banyak kemajuan dalam waktu yang relatif singkat, para pengusaha Tionghoa beramai-ramai mengikuti jejak mereka. Di antara kedua pihak kemudian muncul persaingan ketat. Pada tahun 1918 persaingan ini telah mencapai puncaknya, hingga menjadi salah satu faktor penting penyebab meletusnya sebuah kerusuhan hebat yang meledak di Kudus pada tanggal 31 Oktober 1918. Pada peristiwa itu banyak pengusaha pribumi yang berpengaruh, diajukan ke muka pengadilan dan dijatuhi hukuman. Akibatnya, industri rokok kretek pribumi mengalami kemunduran, sebaliknya para pengusaha Tionghoa berhasil memperkuat posisi mereka dalam industri rokok kretek di Kudus (Amen,1987 : 107). Peristiwa tersebut menjadi catatan sejarah yang penting, yang menggambarkan betapa sentimen rasial sudah hidup lama di negeri ini, bahkan menunjukkan bentuknya dalam beberapa kerusuhan rasial anti-Tionghoa, kerusuhan rasial seperti api dalam sekam. Dipicu masalah sepele saja kerusuhan itu bisa meletus, umumnya timbul terutama karena sentimen dagang, orang Tionghoa dipandang sebagai penghalang usaha ekonomi pribumi.
Kerusuhan ini bermula dari berdirinya Sarekat Dagang Islam (SDI) yang diprakarsai Tirto Adhi Soerjo pada awalnya sebenarnya bukan bertujuan untuk melawan pedagang Tionghoa yang dianggap pesaing utama para pedagang Islam (Pramoedya, 1985:120). SDI kemudian berubah menjadi Sarekat Islam (SI) dan berkembang dengan pesat sehingga anggotanya mencapai setengah juta orang. Dalam perkembangannya SI menjadi organisasi yang paling militan pada masa itu dalam berjuang melawan penjajah Belanda. Untuk mengalihkan konflik, pemerintah kolonial Belanda melakukan politik adu domba dan berusaha membenturkan kepentingan pedagang- pedagang Islam yang dipelopori para pedagang Arab dengan pedagang Tionghoa yang menjadi saingan utamanya. Persaingan antara pedagang batik dan rokok kretek Arab dengan pedagang-pedagang Tionghoa sengaja dihembus-hembuskan pemerintah kolonial Belanda dengan para penasehatnya dari Biro Umum Bumiputera. Terjadilah sejumlah bentrokan kecil antara kedua kelompok pedagang tersebut yang mencapai puncaknya pada Kamis malam 31 Oktober 1918 di kota Kudus yang terkenal dengan Peristiwa Peroesoehan di Koedoes. Pada malam itu semua rumah dan toko milik orang Tionghoa di kota Kudus habis dijarah dan dibakar oleh ribuan massa Sarekat Islam yang datang dari Mayong, Jepara, Pati, Demak dan daerah sekitarnya. Korban meninggal dunia ada 16 orang yang terdiri dari orang-orang Tionghoa dan para perusuh. Korban yang luka-luka mencapai ratusan orang yaitu kaum perusuh yang diserang polisi. Ada 3 mayat orang Tionghoa yang bertumpuk di kamar mandi, ada mayat yang sudah menjadi arang dan tertimbun puing-puing rumah yang habis terbakar. Ada 40 rumah/toko yang habis dijarah dan dibakar dan sebuah klenteng dirusak. Selain itu sejumlah pabrik rokok dan batik habis dijarah dan dirusak.
Baca juga : Awal Mula Pembuatan Rokok Kretek di Kota Kudus Bagian 2
Perisitiwa kerusuhan ini diawali dengan perkelahian antara sejumlah pemuda Tionghoa yang sedang melakukan prosesi arak-arakan gotong Toapekong dengan sejumlah pemuda SI. Prosesi ini di selenggarakan sebagai upaya menangkal wabah penyakit influenza yang menyerang kota Kudus dan telah meminta korban jiwa, karena wabah penyakit ini dikuatirkan akan meminta lebih banyak korban, masyarakat Tionghoa di Kudus yang masih percaya akan kebiasaan yang berbau tahayul lalu mengadakan upacara gotong Toapekong untuk menghentikan wabah tersebut. Namun ada sekelompok haji yang menjadi pengusaha pabrik rokok kretek yang selama ini merasa dirugikan, karena kalah bersaing dengan para pengusaha Tionghoa. Mereka menggunakan kesempatan ini untuk menghasut para pengurus dan anggota SI setempat dengan melakukan sejumlah provokasi. Ketika berlangsung prosesi, kelompok tersebut lalu mengganggu dan mengejek para peserta upacara itu. Ternyata para pemuda Tionghoa tersebut terpancing dan terjadi perkelahian yang kemudian berhasil dilerai, namun pada keesokan malamnya terjadilah kerusuhan tersebut.
Masyarakat Tionghoa Kudus merasa kesal karena pihak keamanan Belanda tidak segera menghentikan kerusuhan itu dan setelah jatuh banyak korban baru meminta bantuan polisi dari Semarang. Ratusan perusuh yang ditangkap, namun hanya 69 orang saja yang diajukan ke pengadilan. Pada 25 Pebruari 1919 dibacakan vonis hakim yang menjatuhkan hukuman terberat 15 tahun dan teringan 9 bulan, beberapa orang dinyatakan bebas karena terbukti tidak bersalah. Peristiwa kerusuhan di Kudus yang merupakan puncak dari berbagai kerusuhan kecil yang dimulai di Surabaya dan Solo pada 1912, adalah awal dari rangkaian kerusuhan rasial anti Tionghoa yang berlangsung selama abad ke-20.
Sejak huru-hara yang sengit pada tahun 1918, hubungan di antara orang-orang Cina dengan pribumi di Kudus menjadi lebih baik, organisasi para pengusaha pabrik mencakup kedua ras tersebut. Perselisihan di antara produsen-produsen besar dengan produsen-produsen kecil lebih menonjol daripada perselisihan di antara kedua golongan sukubangsa itu. Namun, di dalam kerukunan secara luar ini masih tersembunyi kebencian yang mendalam pihak usahawan-usahawan Islam atau orang-orang pribumi.
Baca juga : Awal Mula Pembuatan Rokok Kretek di Kota Kudus Bagian 2
Pada tahun 1932 dan 1933 terjadi krisis yang berkepanjangan, hal tersebut tidak lain sebagai akibat berbagai macam keadaan yang timbul dari jaman “malaise”. Pada tahun 1932 pemerintah Belanda memutuskan pemungutan pajak tembakau, sehingga bermacam-macam pengusaha pabrik rokok di Kudus memutuskan menganggur sementara waktu. Mereka mau melihat-lihat dahulu keadaan sebelum bertindak jauh, di samping itu mereka, masih terdapat banyak pihak lain yang juga mengalami penyusutan pendapatan dari perdagangan atau pekerjaan mereka, karena pengaruh malaise. Oleh karenanya, mereka juga mencoba mencari jalan keluar, agar bisa memperoleh pendapat tambahan, dengan memilih mendirikan pabrik rokok kecil. Jadi selama krisis malaise yang berkepanjangan, justru banyak pabrik rokok kretek kecil telah bermunculan.
Pemerintah Hindia Belanda sangat menaruh perhatian terhadap industri rokok kretek. Industri ini, kecuali menyerap demikian banyak tenaga kerja, juga memberikan banyak pendapatan bagi pemerintah sendiri, yang diperoleh dari berbagai macam pajak. Contohnya adalah kebijaksanaan dalam penyelesaian kasus Nitisemito, dimana pemerintah memberikan kesempatan kepada pihak yang bersangkutan untuk mengangsur hutang pajaknya dan sekaligus membuka kembali pabriknya, hal itu merupakan salah satu langkah perlindungan dari Belanda.
Kehidupan perusahaan rokok pada jaman pendudukan Jepang mengalami kemunduran. Banyak perusahaan rokok kretek terpaksa menutup pabrik atau perusahaannya. Hal tersebut dikarenakan tembakau sangat sulit didapat, oleh karena pemerintah bala tentara Jepang di Jawa membatasi penanaman tembakau. Banyak lahan yang semula menghijau penuh dengan tanaman tembakau, telah berubah menjadi kebun jarak. Tanaman jarak waktu itu banyak diusahakan, karena diperlukan untuk bahan membuat minyak pelumas berbagai mesin, termasuk mesin pesawat terbang. Selain tembakau, tanaman cengkeh juga sangat sulit didapat. Hal itu dikarenakan impor cengkeh dari Zanzibar dihentikan, sehingga para pengusaha terpaksa menggantinya dengan tangkai daun cengkeh. Sebagian pengusaha rokok di Kudus mencoba mengganti cengkeh ini dengan memakai rajangan daun jambu bol. Sedang sebagian pengusaha lagi telah berproduksi tanpa memakai cengkeh atau bahan campuran lainnya. Karena kesulitan mendapatkan bahan baku, banyak pengusaha telah menutup perusahaan rokok mereka. Sebagian lagi telah menderita malapetaka, oleh karena perusahaan rokok mereka dirampas Jepang, contohnya pengusaha rokok terkenal Nitisemito.
Sekian dulu mengenai pembahasannya mengenai awal mula pembuatan rokok kretek di kudus. Untuk selanjutnya akan saya bahas dalam bagian kedua mengenai perjalanan rokok dalam sejarah dan benda-benda peninggalan Rokok Kretek yang ada di Kota Kudus.
Baca juga : Awal Mula Pembuatan Rokok Kretek di Kota Kudus Bagian 2